BAGIAN KEDUAPULUH LIMA: HUNAIN DAN TA'IF (1/2)
Muhammad Husain Haekal
Malik b. 'Auf menghasut Hawazin dan Thaqif - Bertahan di
selat Lembah Hunain - Muslimin berangkat ke Hunain -
Memasuki selat Lembah di pagi buta - Serangan Hawazin dan
Thaqif, mundur dalam kekalahan - Keteguhan hati Muhammad
menghadapi maut - Teriakan Abbas supaya Muslimin kembali
- Kembali kepada Rasulullah, pertempuran dan kemenangan -
Rampasan perang - Perjalanan ke Ta'if - Pengepungan dan
menghindari pertempuran - Kebun dibakar - Permohonan Nabi
untuk tidak melakukan itu - Kembali dan pengepungan -
Hawazin menerima Islam - Cerita Syaima' - Kembali ke
Ji'rana dan pembagian rampasan perang - 'Umrah - Kembali
ke Medinah.
DENGAN perasaan gembira karena kemenangan yang telah diberikan
Tuhan, kaum Muslimin masih tinggal di Mekah setelah kota itu
dibebaskan. Mereka sangat bersenang hati sekali karena
kemenangan besar ini tidak banyak minta kurban. Setiap
terdengar suara Bilal mengucapkan azan sembahyang, cepat-cepat
mereka pergi ke Mesjid Suci, berebut-rebutan di sekitar
Rasulullah, dimana saja ia berada dan ke mana saja ia pergi.
Kaum Muhajirin pun sekarang dapat pulang, dapat berhubungan
dengan keluarga mereka, yang kini telah mendapat petunjuk
Tuhan. Hati mereka pun sudah yakin bahwa keadaan Islam sudah
mulai stabil, dan bahwa perjuangan sebagian besar sudah
membawa kemenangan. Akan tetapi limabelas hari kemudian
setelah mereka tinggal di Mekah itu, tiba-tiba tersiar berita
yang membuat mereka harus segera sadar kembali. Soalnya ialah,
Kabilah Hawazin yang tinggal di pegunungan tidak jauh di
sebelah timur-laut Mekah, setelah melihat kemenangan Muslimin
yang telah membebaskan Mekah dan menghancurkan
berhala-berhala, mereka pun kuatir akan mendapat giliran;
pihak Muslimin akan juga menyerbu daerah mereka. Terpikir oleh
mereka apa yang harus mereka lakukan dalam mencegah bencana
yang akan menimpa mereka itu. dan membendung Muhammad serta
mencegah arus kaum Muslimin yang akan menghilangkan
kemerdekaan kabilah-kabilah itu di seluruh jazirah bila mereka
semua digabungkan kedalam suatu kesatuan di bawah naungan
Islam.
Untuk itu Malik b. 'Auf dari Banu Nashr sekarang berusaha
mengumpulkan kabilah-kabilah Hawazin dan Thaqif, demikian juga
kabilah-kabilah Nashr dan Jusyam. Dari pihak Hawazin semua
ikut, kecuali Ka'b dan Kilab. Sedang dari pihak Jusyam ada
orang yang bernama Duraid bin'sh-Shimma, orang yang sudah
berusia lanjut dan sudah tidak berguna buat ikut berperang,
tetapi sebagai orang yang sudah bertahun-tahun punya
pengalaman dalam perang, pendapatnya sangat diperlukan.
Kabilah-kabilah itu semua berkumpul, membawa serta
harta-benda, wanita dan anak-anak mereka. Mereka menuju
dataran Autas. Bilamana dengusan unta, keledai yang
melengking, tangisan anak dan kambing yang mengembik-embik
sampai ke telinga Duraid, ia bertanya kepada Malik b. 'Auf:
"Kenapa semua harta-benda, wanita dan anak-anak itu ikut serta
dalam peperangan?"
Malik menjawab bahwa hal itu dilakukan guna memberi semangat
kepada angkatan perangnya.
"Kalau kalian akan mengalami kekalahan mungkinkah hal ini bisa
mencegahnya?" kata Duraid lagi. "Kalau harus menang juga, maka
yang penting hanyalah laki-laki dengan pedang dan panahnya;
sebaliknya kalau kamu harus mengalami kekalahan, keluarga dan
hartamu hanya akan membawa bencana."
Dengan Malik ia berselisih pendapat. Tetapi orang banyak ikut
Malik. Dia seorang pemuda berusia tigapuluh tahun, bersemangat
dan punya kemauan keras. Sekalipun sudah berpengalaman dalam
perang, sekali ini Duraid menyerah kepada pendapat mereka.
Sekarang Malik memerintahkan supaya orang berangkat ke puncak
gunung dan ke selat Lembah Hunain. Bilamana nanti kaum
Muslimin turun ke lembah itu, maka hendaklah mereka diserang,
sehingga dengan serangan satu orang saja barisan mereka akan
sudah jadi lemah, mereka akan kucar-kacir, akan saling
menghantami sesama mereka. Dengan demikian mereka akan hancur,
pengaruh kemenangan mereka ketika membebaskan Mekah sudah
takkan berarti lagi. Yang ada nanti hanya kemenangan
kabilah-kabilah Hunain itu saja di seluruh jazirah Arab, suatu
kemenangan yang akan dapat dibanggakan dalam menghadapi
kekuatan yang kini menguasai tanah Arab itu. Perintah Malik
ditaati oleh kabilah-kabilah dan mereka membuat pertahanan di
selat wadi itu.
Pihak Muslimin sendiri setelah dua minggu tinggal di Mekah,
dalam persiapan senjata dan tenaga yang belum pernah mereka
alami sebelum itu, dengan pimpinan Muhammad mereka berangkat
pula cepat-cepat. Mereka bergerak dalam jumlah duabelas ribu
orang. Sepuluh ribu terdiri dari mereka yang telah menyerbu
dan membebaskan Mekah dan yang dua ribu lagi terdiri dari
orang-orang Quraisy yang sudah Islam - di antaranya Abu Sufyan
b. Harb. Mereka semua mengenakan pakaian berlapis besi
didahului oleh pasukan berkuda dan unta yang membawa
perlengkapan dan bahan makanan. Keberangkatan Muslimin dengan
pasukan demikian ini, sebenarnya memang belum pernah dikenal
di seluruh jazirah. Setiap kabilah didahului oleh panjinya
masing-masing, tampil kedepan dengan hati bangga karena jumlah
yang begitu besar, yang tidak akan dapat dikalahkan.
Sampai-sampai antara mereka satu sama lain ada yang berkata:
Karena jumlah kita yang besar ini sekarang kita takkan dapat
dikalahkan.
Menjelang sore hari itu mereka sudah sampai di Hunain. Di
pintu-pintu masuk wadi itu mereka berhenti dan tinggal di sana
sampai waktu fajar keesokan harinya. Ketika itulah pasukan
mulai bergerak lagi. Muhammad mengikuti dari belakang dengan
menunggang bagalnya yang putih. Sementara Khalid bin'lWalid
yang memimpin Banu Sulaim berada di depan. Dari selat Hunain
itu mereka menyusur ke sebuah wadi di Tihama. Akan tetapi
sementara mereka sedang menuruni lembah itu, tiba-tiba
datanglah serangan mendadak secara bertubi-tubi dari pihak
kabilah-kabilah dengan komando Malik b. 'Auf. Sementara masih
dalam keadaan remang-remang subuh itu mereka telah dihujani
panah oleh pihak Malik. Ketika itulah keadaan Muslimin jadi
kacau-balau. Dalam keadaan terpukul demikian itu mereka
berbalik surut dengan membawa perasaan takut dan gentar dalam
hati, dan ada pula yang lari sekuat-kuatnya. Dalam hal ini,
dengan senyum gembira di bibir - Abu Sufyan yang sekarang
melihat kegagalan orang-orang yang kemarin telah dapat
mengalahkan Quraisy itu - berkata "Mereka takkan berhenti lari
sebelum sampai ke laut."
Begitu juga Syaiba b. 'Uthman b. Abi Talha berkata: "Sekarang
aku dapat membalas Muhammad." Berkata begitu, karena bapanya
telah terbunuh dalam perang Uhud.
Ketika Kalada b. Hanbal berkata: "Ya, sihirnya sekarang sudah
tidak mempan," dibalas oleh Shafwan saudaranya sendiri: "Diam
kau! Sungguh aku lebih suka di bawah orang Quraisy daripada di
bawah Hawazin."
Percakapan demikian itu terjadi sementara keadaan pasukan
perang sedang kucar-kacir. Dalam pada itu, kabilah-kabilah
yang sedang mengalami kekalahan itu satu demi satu berlarian
di hadapan Nabi yang berada di belakang - tanpa melihat ke
kanan kiri lagi.
Apa kiranya yang diperbuatnya? Mungkinkah pengorbanan yang
duapuluh tahun itu akan hilang dalam sekejap mata begitu saja
pada pagi buta itu? Ataukah Tuhan sudah menjauhinya dan sudah
tidak lagi memberikan pertolongan? Tidak! Tidak! Ini tidak
mungkin! Sebelum itu, sudah ada bangsa-bangsa yang sudah
punah, golongan-golongan yang sudah tak ada lagi. Sebelum itu
pun Muhammad sudah biasa bergumul dengan maut, dan
kalau-kalau dalam mati membela agama Allah itu kemenangan akan
ada. Dan apabila ajal itu sudah datang tidak akan dapat
sedetik pun ditunda atau dimajukan.
Muhammad tetap tabah tiada bergerak di tempatnya. Beberapa
orang dari kalangan Muhajirin, Anshar serta kerabat-kerabatnya
tetap berada di sekelilingnya.
Dalam pada itu dipanggilnya orang-orang yang melarikan diri
lewat di hadapannya itu seraya katanya: "Hai orang-orang! Kamu
mau ke mana? Mau ke mana?"
Tetapi, orang-orang yang sudah penuh ketakutan itu sudah tidak
mendengar apa-apa lagi. Yang tergambar dalam mata mereka hanya
Hawazin dan Thaqif yang kini sedang meluncur turun dari
perkubuan di puncak-puncak gunung mengejar mereka. Dan
gambaran mereka itu tidak salah. Pihak Hawazin sudah mulai
turun dari tempat semula, didahului oleh seseorang di atas
seekor unta berwarna merah, dan membawa sebuah bendera hitam
yang dipancangkan pada sebilah tombak panjang. Setiap ia
bertemu dengan pihak Muslimin ditetakkannya tombak itu kepada
mereka, sementara pihak Hawazin, Thaqif dan sekutu-sekutunya
terus meluncur turun dari belakang sambil terus menghantam.
Semangat baru timbul dalam hati Muhammad. Dengan bagalnya yang
putih itu ia ingin menerjang sendiri ke tengah-tengah musuh
yang sedang meluap-luap seperti banjir itu. Sesudah itu
terserah kepada Tuhan. Akan tetapi Abu Sufyan b. Harith b.
'Abd'l-Muttalib segera menahan kekang bagal itu dan dimintanya
jangan dulu maju.
Abbas b. 'Abd'l-Muttalib seorang laki-laki yang berperawakan
besar dan lantang sekali suaranya. Ia berseru yang kira-kira
akan dapat didengar oleh semua orang dari segenap penjuru:
"Saudara-saudara dari kalangan Anshar yang telah memberikan
tempat dan pertolongan! Saudara-saudara dari Muhajirin yang
telah memberikan ikrar di bawah pohon! Marilah
saudara-saudara, Muhammad masih hidup!"
Seruan demikian itu diulang-ulangnya oleh Abbas, sehingga
suaranya bersipongang dan bergema ke segenap penjuru wadi.
Disinilah adanya mujizat itu: Orang-orang 'Aqaba mendengar
nama 'Aqaba, teringat oleh mereka Muhammad, teringat akan
janji dan kehormatan diri mereka. Demikian juga orang-orang
Muhajirin, begitu mendengar nama Muhajirin, teringat oleh
mereka akan pengorbanan mereka selama ini, teringat akan
kehormatan diri mereka. Mereka itu sudah mendengar dan
mengetahui tentang ketenangan dan ketabahan hati Muhammad,
disamping sejumlah kecil orang-orang Muhajirin dan Anshar,
yang sama tabahnya seperti ketika Perang Uhud dulu - dalam
menghadapi musuh yang begitu besar. Dalam hati mereka kini
terbayang betapa akibatnya kemenangan orang-orang musyrik itu
terhadap agama Allah kelak sekiranya mereka ini sekarang
gagal.
Seruan Abbas yang selama itu masih tetap berkemandang dalam
telinga, hati mereka sekaligus tersentak karenanya. Ketika
itulah mereka saling menyambut dari segenap penjuru:
"Labbaika,1 Labbaika! "
Mereka-semua kini kembali, dan bertempur lagi secara heroik
sekali.
Pihak Hawazin yang sudah menyusur turun dari tempatnya semula,
sekarang sudah berhadapan muka dengan Muslimin dalam lembah
itu. Sinar siang sudah mulai tampak dan remang pagi dengan
sendirinya menghilang. Di sarnping Rasulullah sekarang sudah
berkumpul beberapa ratus orang siap akan berhadapan dengan
kabilah-kabilah itu. Jumlah mereka ini bertambah juga. Dan
dengan kembalinya mereka itu, semangat yang tadinya sudah
lemah kini kembali berkobar-kobar. Pihak Anshar sendiri
berteriak: "Hai Anshar!" Lalu mereka saling memanggil-manggil:
"Hai Khazraj!"
Perasaan lega mulai terasa oleh Muhammad tatkala dilihatnya
mereka kini kembali lagi.
Sementara Muhammad menyaksikan pertempuran itu berkobar dengan
pertarungan yang semakin sengit dan melihat moril anak buahnya
makin tinggi dalam memukul lawan, ia berkata: "Sekarang
pertempuran benar-benar berkobar. Tuhan tidak menyalahi janji
kepada RasulNya."
Kepada Abbas dimintanya segenggam batu kerikil dan kemudian
kerikil itu dilemparkannya ke muka musuh seraya katanya:
"Wajah-wajah yang buruk!" Dan terjunlah kaum Muslimin itu ke
tengah-tengah gelanggang dengan tidak lagi menghiraukan maut
demi di jalan Allah. Mereka percaya, bahwa kemenangan pasti
datang dan barang siapa gugur ia akan mendapat kemenangan yang
lebih besar lagi daripada hidup. Perjuangan ketika itu hebat
sekali. Baik Hawazin maupun Thaqif dan pengikut-pengikutnya,
begitu melihat bahwa setiap perlawanan ternyata tidak
berhasil, bahkan mereka sendiri terancam akan habis
samasekali, cepat-cepat mereka lari dalam keadaan berantakan
tanpa melihat ke kanan-kiri lagi, dengan meninggalkan
wanita-wanita dan anak-anak mereka sebagai rampasan perang di
tangan kaum Muslimin, yang ketika itu dihitung sebanyak 22.000
ekor unta, 40.000 kambing dan 4.000 'uqiya2 perak. Sedang
tawanan perang yang terdiri dari 6.000 orang itu telah
dipindahkan dengan pengawalan ke Wadi Ji'rana. Mereka
ditempatkan disana sementara menunggu Muslimin kembali dan
mengejar sisa-sisa musuh serta sekaligus mengepung pihak
Thaqif di Ta'if.
Muslimin meneruskan pengejarannya terhadap musuh mereka itu.
Lebih tertarik lagi mereka mengadakan pengejaran itu karena
Rasul mengumumkan, bahwa barang siapa dapat menyerbu orang
musyrik, maka ia boleh merampasnya. Ketika itu Rabi'a
bin'd-Dughunna telah dapat mengejar seekor unta yang membawa
pelangkin, yang diduganya berisi wanita; ia pun ingin
merampasnya. Unta itu berlutut dan ternyata isinya seorang
laki-laki tua yang oleh pemuda itu tidak dikenalnya, yaitu
Duraid bin'sh-Shimma. Kepada Rabi'a itu Duraid bertanya: Mau
diapakan dirinya. "Akan kubunuh kau," jawabnya, sambil
mengayunkan pedang. Tetapi tidak berhasil.
"Jahat sekali ibumu mempersenjataimu!" kata Duraid. "Ambillah
pedangku di belakang itu dan pukulkan. Keluarkan tulang dan
otaknya. Begitulah aku menghantam orang dengan pedang itu. Dan
kalau kau sudah pulang, katakan kepada ibumu bahwa engkau
telah membunuh Duraid bin'sh-Shimma. Sudah sering sekali aku
melindungi wanita-wanitamu."
Sesampainya di rumah, oleh Rabi'a hal itu diceritakan kepada
ibunya.
"Dasar tangan celaka kau," kata ibunya. "Dia mengatakan itu
hanya akan mengingatkan kita akan jasa-jasanya kepada engkau.
Dia telah memerdekakan tiga orang ibu pada suatu pagi: Yaitu
aku, ibuku dan ibu ayahmu."
Pengejaran terhadap pihak Hawazin oleh pihak Muslimin
diteruskan sampai di Autas. Di tempat ini mereka digempur dam
dihancurkan samasekali. Kaum wanita dan barang-barang mereka
dirampas lalu dibawa kepada Muhammad. Malik b. 'Auf hanya
sebentar saja bertahan kemudian ia pun lari, dia bersama-sama
dengan kabilahnya dan golongan Hawazin, dan di Nakhla ia
berpisah dengan mereka. Ia memutar haluan ke Ta'if dan di
tempat ini ia berlindung.
Dengan demikian nyatalah sudah kemenangan orang-orang beriman
itu dan nyata pula kehancuran total orang-orang musyrik,
setelah remang-remang subuh itu pihak Muslimin dalam keadaan
terancam, mendapat serangan serentak sehingga mereka menjadi
kacau-balau. Kemenangan Muslimin yang sangat menentukan itu
ialah karena ketabahan Muhammad dan sejumlah kecil orang-orang
di sekelilingnya. Dalam hal inilah firman Tuhan turun:
"Tuhan telah menolong kamu pada beberapa tempat dan dalam
Perang Hunain, tatkala kamu merasa bangga sekali karena jumlah
kamu yang besar. Tetapi ternyata jumlah yang besar itu sedikit
pun tidak menolong kamu, dan bumi yang seluas ini pun terasa
amat sempit buat kamu, lalu kamu berbalik mundur. Sesudah itu
Tuhan menurunkan perasaan tenang kepada Rasul dan kepada
orang-orang beriman serta diturunkanNya pula balatentara yang
tidak kamu lihat, dan disiksanya orang-orang kafir itu, dan
memang itulah balasan buat orang-orang kafir. Sesudah itu
kemudian Allah menerima taubat barangsiapa yang
dikehendakiNya, Allah Maha Pengampun dan Penyayang.
Orang-orang beriman! Ingatlah, orang-orang musyrik itu kotor.
Sebab itu sesudah ini, janganlah mereka memasuki Mesjid Suci,
dan kalau kamu kuatir menjadi miskin, maka Tuhan dengan
kurniaNya akan memberikan kekayaan kepada kamu, jika
dikehendaki. Sesungguhnya Tuhan Maha tahu dan Bijaksana."
(Qur'an, 9: 25-28)
Akan tetapi kemenangan ini tidak diperoleh dengan harga murah
oleh kaum Muslimin. Mereka membayarnya dengan harga yang cukup
mahal. Mungkin ini tidak akan mereka lakukan, kalau tidak
karena pada mulanya mereka telah mengalami kegagalan lari
dalam kekalahan, sehingga seperti dikatakan oleh Abu Sufyan
"Mereka takkan berhenti lari sebelum mencapai laut." Mereka
membayar harga mahal itu dengan jiwa orang-orang penting
dengan pahlawan-pahlawan yang gugur dalam pertempuran itu,
meskipun jumlah semua kurban tidak disebutkan dalam buku-buku
biografi Nabi. Seperti sudah disebutkan, bahwa dua kabilah
Muslimin hampir habis binasa, dan Nabi telah mendoakan semoga
Tuhan memasukkan arwah mereka ke dalam surga. Tetapi bagaimana
pun juga nyatanya ia telah mendapat kemenangan: kemenangan
total yang diperoleh Muslimin terhadap lawan mereka, disertai
rampasan dan tawanan perang, yang sebelum itu tidak pernah
mereka alami. Kemenangan adalah segalanya dalam suatu
pertempuran, betapa pun besarnya harga yang harus dibayar,
selama itu merupakan suatu kemenangan terhormat. Dengan
demikian Muslimin merasa gembira sekali akan kurnia yang telah
diberikan Tuhan itu. Mereka tinggal menunggu pembagian
rampasan perang dan dengan itu mereka kembali pulang. Akan
tetapi Muhammad menginginkan suatu kemenangan yang lebih
cemerlang lagi. Kalau Malik b. 'Auf yang telah mengerahkan
orang-orang, kemudian setelah mengalami kekalahan ia sendiri
mencari perlindungan pada pihak Thaqif di Ta'if, maka pihak
Muslimin sekarang hendaknya dapat mengepung Ta'if lebih ketat
lagi. Begitu itulah cara dalam Khaibar setelah perang Uhud,
dan terhadap Quraiza setelah Khandaq. Mungkin suasana ini
mengingatkan dia ketika beberapa tahun sebelum Hijrah ia pergi
ke Ta'if, menganjurkan Islam kepada penduduk kota itu. Tetapi
dia malah dicemooh, dan anak-anak melemparinya dengan batu,
sehingga terpaksa ia berlindung pada sebuah kebun anggur. Juga
mungkin ia teringat betapa benar ia berangkat seorang diri
ketika itu, dalam keadaan sangat lemah, tiada daya upaya
selain Tuhan, selain iman yang besar yang telah memenuhi
dadanya, iman yang telah dapat meruntuhkan gunung. Sekarang,
sekarang ia berangkat menuju Ta'if dengan sebuah rombongan
Muslimin, dengan suatu jumlah yang belum pernah disaksikan
sepanjang sejarah jazirah itu.
(bersambung ke bagian 2/2)
|
Bapakku
Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...
Read More







0 komentar:
Post a Comment