BAGIAN KESEBELAS: TAHUN PERTAMA DI YATHRIB1 (1/4)
Muhammad Husain Haekal
Yathrib menyambut Muhajir Besar - Pembinaan mesjid dan
tempat-tempat tinggal Nabi - Kebebasan beragama bagi
seluruh penduduk Yathrib - Orang-orang Yahudi Medinah -
Muhammad mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar -
Perjanjiannya dengan Yahudi menetapkan kebebasan
beragama - Perkawinan Muhammad dengan Aisyah - Azan
sembahyang - Teladan dan ajaran-ajaran Muhammad -
Kuatnya agama baru dan takutnya pihak Yahudi - Kiblat
dari al-Masjid'l-Aqsha dialihkan ke al-Masjid'l-Haram -
Delegasi Nasrani ke Medinah - Pertemuan tiga agama di
Yathrib - Kaum Muslimin mempertimbangkan kedudukannya
terhadap Quraisy
BERBONDONG-BONDONG penduduk Yathrib ke luar rumah hendak
menyambut kedatangan Muhammad, pria dan wanita. Mereka
berangkat setelah tersiar berita tentang hijrahnya, tentang
Quraisy yang hendak membunuhnya, tentang ketabahannya menempuh
panas yang begitu membakar dalam perjalanan yang sangat
meletihkan, mengarungi bukit pasir dan batu karang di
tengah-tengah dataran Tihama, yang justru memantulkan sinar
matahari yang panas dan membakar itu. Mereka keluar karena
terdorong ingin mengetahui sekitar berita tentang ajakannya
yang sudah tersiar di seluruh jazirah. Ajakan ini juga yang
sudah mengikis kepercayaan-kepercayaan lama yang diwarisi dari
nenek-moyang mereka, yang sudah dianggap begitu suci.
Akan tetapi mereka keluar itu bukan disebabkan oleh dua alasan
ini saja, melainkan lebih jauh lagi, yakni karena orang yang
hijrah dari Mekah ini akan menetap di Yathrib. Setiap
golongan, setiap kabilah dari penduduk Yathrib, dari segi
politik dan sosial dalam hal ini memberikan efek yang
bermacam-macam. Inilah yang lebih banyak mendorong mereka
menyongsong keluar, daripada sekedar ingin melihat orang ini.
Juga mereka ingin mengetahui, benarkah hal itu akan memperkuat
dugaan mereka, ataukah mereka harus menarik diri.
Oleh karena itu, sambutan orang-orang musyrik dan Yahudi atas
kedatangan Nabi tidak kurang daripada sambutan kaum Muslimin,
baik dari Muhajirin maupun dari kalangan Anshar. Mereka semua
mengerumuninya. Sesuai dengan perasaan yang berkecamuk dalam
hati masing-masing terhadap pendatang orang besar itu,
denyutan jantung merekapun tidak sama pula satu sama lain.
Mereka sama-sama mengikutinya tatkala ia melepaskan kekang
untanya dan membiarkannya berjalan sekehendaknya sendiri,
dengan agak kurang teratur karena masing-masing ingin
memandang wajahnya. Semua ingin mengelilinginya dengan
pandangan mata tentang orang yang gambarnya sudah terlukis
dalam jiwa masing-masing, tentang orang yang telah membuat
Ikrar Aqaba kedua, bersama-sama penduduk kota ini - guna
melakukan perang mati-matian terhadap Quraisy; orang yang
telah hijrah meninggalkan tanah airnya, berpisah dengan
keluarganya dengan memikul segala tekanan permusuhan dan
tindakan kekerasan dari mereka selama tigabelas tahun
terus-menerus. Ini semua demi keyakinan tauhid kepada Allah,
tauhid yang dasarnya adalah merenungkan alam semesta ini serta
mengungkapkan hakekat yang ada dengan jalan itu.
Unta yang dinaiki Nabi alaihi ssalam berlutut di tempat
penjemuran kurma milik Sahl dan Suhail b. Amr. Kemudian tempat
itu dibelinya guna dipakai tempat membangun mesjid. Sementara
tempat itu dibangun ia tinggal pada keluarga Abu Ayyub Khalid
b. Zaid al-Anshari. Dalam membangun mesjid itu Muhammad juga
turut bekerja dengan tangannya sendiri. Kaum Muslimin dari
kalangan Muhajirin dan Anshar ikut pula bersama-sama
membangun. Selesai mesjid itu dibangun, di sekitarnya dibangun
pula tempat-tempat tinggal Rasul. Baik pembangunan mesjid
maupun tempat-tempat tinggal itu tidak sampai memaksa
seseorang, karena segalanya serba sederhana, disesuaikan
dengan petunjuk-petunjuk Muhammad.
Mesjid itu merupakan sebuah ruangan terbuka yang luas, keempat
temboknya dibuat daripada batu bata dan tanah. Atapnya
sebagian terdiri dari daun kurma dan yang sebagian lagi
dibiarkan terbuka, dengan salah satu bagian lagi digunakan
tempat orang-orang fakir-miskin yang tidak punya
tempat-tinggal. Tidak ada penerangan dalam mesjid itu pada
malam hari. Hanya pada waktu salat Isya diadakan penerangan
dengan membakar jerami. Yang demikian ini berjalan selama
sembilan tahun. Sesudah itu kemudian baru mempergunakan
lampu-lampu yang dipasang pada batang-batang kurma yang
dijadikan penopang atap itu. Sebenarnya tempat-tempat tinggal
Nabi sendiri tidak lebih mewah keadaannya daripada mesjid,
meskipun memang sudah sepatutnya lebih tertutup.
Selesai Muhammad membangun mesjid dan tempat-tinggal, ia
pindah dari rumah Abu Ayyub ke tempat ini. Sekarang terpikir
olehnya akan adanya hidup baru yang harus dimulai, yang telah
membawanya dan membawa dakwahnya itu harus menginjak langkah
baru lebih lebar. Ia melihat adanya suku-suku yang saling
bertentangan dalam kota ini, yang oleh Mekah tidak dikenal.
Tapi juga ia melihat kabilah-kabilah dan suku-suku itu
semuanya merindukan adanya suatu kehidupan damai dan tenteram,
jauh dari segala pertentangan dan kebencian, yang pada masa
lampau telah memecah-belah mereka. Kota ini akan membawa
ketenteraman pada masa yang akan datang, yang diharapkan akan
lebih kaya dan lebih terpandang daripada Mekah. Akan tetapi,
bukanlah kekayaan dan kehormatan Yathrib itu yang menjadi
tujuan Muhammad yang pertama, sekalipun ini ada juga. Segala
tujuan dan daya-upaya, yang pertama dan yang terakhir, ialah
meneruskan risalah, yang penyampaiannya telah dipercayakan
Tuhan kepadanya, dengan mengajak dan memberikan peringatan.
Akan tetapi, oleh penduduk Mekah sendiri, dengan cara
kekerasan risalah ini dilawan mati-matian, sejak dari awal
kerasulannya sampai Rada waktu hijrah. Karena takut akan
penganiayaan dan tindakan kekerasan pihak Quraisy, risalah dan
iman itu tidak sampai memasuki setiap kalbu. Segala
penganiayaan dan tindakan kekerasan ini menjadi perintang
antara iman dengan kalbu manusia yang belum lagi menerima iman
itu.
Baik kaum Muslimin maupun yang lain seharusnya percaya, bahwa
barangsiapa menerima pimpinan Tuhan dan sudah masuk ke dalam
agama Allah, akan terlindung ia dari gangguan; bagi orang yang
sudah beriman akan tambah kuat imannya, sedang bagi yang masih
ragu-ragu, atau masih takut-takut atau yang lemah akan segera
pula menerima iman itu.
Pikiran itulah yang mula-mula meyakinkan Muhammad, ia tinggal
di Yathrib, ke arah itu politiknya ditujukan dan dengan tujuan
itu pula hendaknya sejarah hidupnya ditulis. Ia tak pernah
memikirkan kerajaan, harta-benda atau perniagaan. Seluruh
tujuannya ialah memberikan ketenangan jiwa bagi mereka yang
menganut ajarannya dengan jaminan kebebasan bagi mereka dalam
menganut kepercayaan agama masing-masing. Baik bagi seorang
Muslim, seorang Yahudi, atau seorang Kristen masing-masing
mempunyai kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan,
kebebasan yang sama menyatakan pendapat dan kebebasan yang
sama pula menjalankan propaganda agama. Hanya kebebasanlah
yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan
kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat.
Setiap tindakan menentang kebebasan berarti memperkuat
kebatilan, berarti menyebarkan kegelapan yang akhirnya akan
mengikis habis percikan cahaya yang berkedip dalam hati nurani
manusia. Percikan cahaya ini yang akan menghubungkan hati
nurani manusia dengan alam semesta ini, dari awal yang azali
sampai pada akhirnya yang abadi, suatu hubungan yang menjalin
rasa kasih sayang dan persatuan, bukan rasa kebencian dan
kehancuran
Dengan pemikiran inilah wahyu itu disampaikan kepada Muhammad
sejak ia hijrah. Dan karena itu pula ia sangat mendambakan
perdamaian, dan tidak menyukai perang. Dalam hal ini selama
hidupnya ia sangat cermat sekali. Ia tidak menempuh jalan itu,
kalau tidak terpaksa karena membela kebebasan, membela agama
dan kepercayaan. Bukankah, ketika mendengar ada mata-mata
memanggil-manggil Quraisy, memberi peringatan tentang mereka
itu, penduduk Yathrib yang ikut mengadakan Ikrar Aqaba kedua
berkata kepadanya?
"Demi Allah yang telah mengutus tuan atas dasar kebenaran
kalau sekiranya tuan sudi, penduduk Mina itu besok akan kami
habiskan dengan pedang kami."
Dijawabnya:
"Kami tidak diperintahkan untuk itu."
Bukankah ayat pertama yang datang mengenai perang berbunyi?
"Diijinkan (berperang) kepada mereka yang diperangi, karena
mereka dianiaya; dan sesungguhnya Allah Maha kuasa menolong
mereka." (Qur'an, 8: 39)
Dan bukankah ayat berikutnya mengenai soal perang itu Tuhan
berfirman?
"Dan perangilah mereka supaya jangan ada lagi fitnah, dan
agama seluruhnya untuk Allah." (Qur'an, 2: 193)
Jadi pertimbangan pikiran Muhammad dalam hal ini hanya
mempunyai satu tujuan yang luhur, yaitu menjamin kebebasan
beragama dan menyatakan pendapat. Hanya untuk mempertahankan
itulah perang dibenarkan, dan hanya untuk itu pula dibenarkan
menangkis serangan pihak agresor, sehingga jangan ada orang
yang dapat dikacau dari agamanya dan jangan pula ada orang
yang ditindas karena kepercayaan atau pendapatnya.
Kalau inilah tujuan Muhammad dalam pertimbangannya mengenai
masalah Yathrib serta harus menjamin adanya kebebasan, maka
penduduk kota ini pun menyambutnya dalam pikiran yang serupa,
meskipun setiap golongan pertimbangannya saling bertentangan
satu sama lain. Penduduk Yathrib pada waktu itu terdiri dari
kaum Muslimin - Muhajirin dan Anshar - orang-orang musyrik
dari sisa-sisa Aus dan Khazraj - sedang hubungan kedua
golongan ini sudah sama-sama kita ketahui; kemudian
orang-orang Yahudi: Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu
Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan
Yahudi Khaibar di Utara.
Ada pun kaum Muhajirin dan Anshar, karena solidaritas agama
baru itu, mereka sudah erat sekali bersatu. Sungguhpun begitu,
kekuatiran dalam hati Muhammad belum hilang samasekali,
kalau-kalau suatu waktu kebencian lama di kalangan mereka akan
kembali timbul. Sekarang terpikir olehnya bahwa setiap
keraguan semacam itu harus dihilangkan. Usaha ini akan tampak
juga pengaruhnya
Sebaliknya golongan musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj,
akibat peperangan-peperangan masa lampau, mereka merasa lemah
sekali di tengah-tengah kaum Muslimin dan Yahudi itu. Mereka
mencari jalan supaya antara keduanya itu timbul insiden.
Selanjutnya golongan Yahudi dengan tiada ragu-ragu merekapun
menyambut baik kedatangan Muhammad dengan dugaan bahwa mereka
akan dapat membujuknya dan sekaligus merangkulnya ke pihak
mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah
jazirah Arab. Dengan demikian mereka akan dapat pula
membendung Kristen, yang telah mengusir Yahudi, -bangsa
pilihan Tuhan - dari Palestina, Tanah yang Dijanjikan dan
tanah air mereka itu.
Dengan dasar pikiran itulah mereka masing-masing bertolak.
Mereka membukakan jalan supaya tujuan mereka masing-masing
mudah tercapai.
Di sinilah fase baru dalam hidup Muhammad itu dimulai yang
sebelum itu tiada seorang nabi atau rasul yang pernah
mengalaminya. Di sini dimulainya suatu fase politik yang telah
diperlihatkan oleh Muhammad dengan segala kecakapan, kemampuan
dan pengalamannya, yang akan membuat orang jadi termangu, lalu
menundukkan kepala sebagai tanda hormat dan rasa kagum.
Tujuannya yang pokok akan mencapai Yathrib - tanah airnya yang
baru - ialah meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi,
yang sebelum itu di seluruh wilayah Hijaz belum dikenal;
sungguhpun jauh sebelumnya di Yaman memang sudah pernah ada.
Sekarang ia bermusyawarah dengan kedua wazirnya itu Abu Bakr
dan Umar - demikianlah mereka dinamakan. Dengan sendirinya
yang menjadi pokok pikirannya yang mula-mula ialah menyusun
barisan kaum Muslimin serta mempererat persatuan mereka, guna
menghilangkan segala bayangan yang akan membangkitkan api
permusuhan lama di kalangan mereka itu. Untuk mencapai maksud
ini diajaknya kaum Muslimin supaya masing-masing dua
bersaudara, demi Allah. Dia sendiri bersaudara dengan Ali b.
Abi Talib. Hamzah pamannya bersaudara dengan Zaid bekas
budaknya. Abu Bakr bersaudara dengan Kharija b. Zaid. Umar
ibn'l-Khattab, bersaudara dengan 'Itban b. Malik al-Khazraji.
Demikian juga setiap orang dari kalangan Muhajirin yang
sekarang sudah banyak jumlahnya di Yathrib - sesudah mereka
yang tadinya masih tinggal di Mekah menyusul ke Medinah
setelah Rasul hijrah - dipersaudarakan pula dengan setiap
orang dari pihak Anshar, yang oleh Rasul lalu dijadikan hukum
saudara sedarah senasib. Dengan persaudaraan demikian ini
persaudaraan kaum Muslimin bertambah kukuh adanya.
Ternyata kalangan Anshar memperlihatkan sikap keramahtamahan
yang luarbiasa terhadap saudara-saudara mereka kaum Muhajirin
ini, yang sejak semula sudah mereka sambut dengan penuh
gembira. Sebabnya ialah, mereka telah meninggalkan Mekah, dan
bersama itu mereka tinggalkan pula segala yang mereka miliki,
harta-benda dan semua kekayaan. Sebagian besar ketika mereka
memasuki Medinah sudah hampir tak ada lagi yang akan dimakan
disamping mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan
selain Usman b. 'Affan. Sedangkan yang lain sedikit sekali
yang dapat membawa sesuatu yang berguna dari Mekah.
Pada suatu hari Hamzah paman Rasul pergi mendatanginya dengan
permintaan kalau-kalau ada yang dapat dimakannya. Abdur-Rahman
b. 'Auf yang sudah bersaudara dengan Sa'd bin'r-Rabi' ketika
di Yathrib ia sudah tidak punya apa-apa lagi. Ketika Sa'd
menawarkan hartanya akan dibagi dua, Abdur-Rahman menolak. Ia
hanya minta ditunjukkan jalan ke pasar. Dan di sanalah ia
mulai berdagang mentega dan keju. Dalam waktu tidak berapa
lama, dengan kecakapannya berdagang ia telah dapat mencapai
kekayaan kembali, dan dapat pula memberikan mas-kawin kepada
salah seorang wanita Medinah. Bahkan sudah mempunyai
kafilah-kafilah yang pergi dan pulang membawa perdagangan.
Selain Abdur-Rahman, dari kalangan Muhajirin, banyak juga yang
telah melakukan hal serupa itu. Sebenarnya karena kepandaian
orang-orang Mekah itu dalam bidang perdagangan sampai ada
orang mengatakan: dengan perdagangannya itu ia dapat mengubah
pasir sahara menjadi emas.
Adapun mereka yang tidak melakukan pekerjaan berdagang,
diantaranya ialah Abu Bakr, Umar, Ali b. Abi Talib dan
lain-lain. Keluarga-keluarga mereka terjun kedalam pertanian,
menggarap tanah milik orang-orang Anshar bersama-sama
pemiliknya. Tetapi selain mereka ada pula yang harus
menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup. Sungguhpun begitu,
mereka ini tidak mau hidup menjadi beban orang lain. Merekapun
membanting tulang bekerja, dan dalam bekerja itu mereka
merasakan adanya ketenangan batin, yang selama di Mekah tidak
pernah mereka rasakan.
Di samping itu ada lagi segolongan orang-orang Arab yang
datang ke Medinah dan menyatakan masuk Islam, dalam keadaan
miskin dan serba kekurangan sampai-sampai ada diantara mereka
yang tidak punya tempat tinggal. Bagi mereka ini oleh
Muhammad disediakan tempat di selasar mesjid yaitu shuffa
[bahagian mesjid yang beratap] sebagai tempat tinggal mereka.
Oleh karena itu mereka diberi nama Ahl'sh-Shuffa (Penghuni
Shuffa). Belanja mereka diberikan dari harta kaum Muslimin,
baik dari kalangan Muhajirin maupun Anshar yang berkecukupun.
Dengan adanya persatuan kaum Muslimin dengan cara persaudaraan
itu Muhammad sudah merasa lebih tenteram. Sudah tentu ini
merupakan suatu langkah politik yang bijaksana sekali dan
sekaligus menunjukkan adanya suatu perhitungan yang tepat
serta pandangan jauh. Baru tampak kepada kita arti semua ini
bila kita melihat segala daya-upaya kaum Munafik yang hendak
merusak dan menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam peperangan
antara Aus dengan Khazraj dan antara Muhajirin dengan Anshar.
Akan tetapi suatu operasi politik yang begitu tinggi dan yang
menunjukkan adanya kemampuan luarbiasa, ialah apa yang telah
dicapai oleh Muhammad dengan mewujudkan persatuan Yathrib dan
meletakkan dasar organisasi politiknya dengan mengadakan
persetujuan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan
persekutuan yang kuat sekali. Orang sudah melihat betapa
mereka menyambut baik kedatangannya dengan harapan akan dapat
dibujuknya ke pihak mereka. Penghormatan mereka ini dengan
segera dibalasnya pula dengan penghormatan yang sama serta
mengadakan tali silaturahmi dengan mereka. Ia bicara dengan
kepala-kepala mereka, didekatkannya pembesar-pembesar mereka
dibentuknya dengan mereka itu suatu tali persahabatan, dengan
pertimbangan bahwa mereka juga Ahli Kitab dan kaum monotheis.
Lebih dari itu bahwa pada waktu mereka berpuasa iapun ikut
puasa. Pada waktu itu kiblatnya dalam sembahyang masih
menghadap ke Bait'l-Maqdis, titik perhatian mereka, tempat
terkumpulnya semua Keluarga Israil. Persahabatannya dengan
pihak Yahudi dan persahabatan pihak Yahudi dengan dia makin
sehari makin bertambah erat dan dekat juga.
(bersambung ke bagian 2/4)
Bapakku
Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...
Read More







0 komentar:
Post a Comment