Selamat Datang Di Emye Private Blog
Membaca, mendengar, dan menterjemahkan Al Qur'an
Sedikit Bigraphy Singkat tentang Aku.
Title

Bapakku

Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...

Read More
Title

Ibuku

Ibuku.., Seorang Wanita yang Sangat Kuat, Tegar dan Banyak Akal. Bisa Menjadi Seorang Ibu Sekaligus "seorang ayah" Juga. Smart dalam bertahan hidup, Sabar di Keseharian, Walau Galak Tapi Pemaaf... Saluut Untukmu Mah...!

Read More
Title

Aku Yang...

Inilah Yang Dulu Selalu Mencari Masalah, dan Terkena Masalah dan Hampir Terkubur Karenanya.. Berharap Maaf dariNYA, Kedua Orangtuaku dan Juga Kalian Semua.. Do'akan RidhoNYA Untukku ya.. Terimakasih Untuk Kalian Semua...

Read More
Title

Rumahku Hidupku..No Place Like Home

Di Sinilah Awal Semua Kisahku.., Di Awali Dengan Kasih Sayang dan Pengharapan dan Di Jalani Dengan Kegilaan lalu Berakhir dengan Keterpurukan. No More Fly..No More Sky and No More Cry...

Read More
Title

Seberkas CahayaNYA...

Menunggu dan Berharap Banyak dariNYA... Jawaban dan Ampunan Setelah Doa-doa yang Kutambatkan.. Setiap Detik, Setiap Saat Sebelum Saat Akhir Hidupku Tiba...

Read More
Title

Pikirkan Dulu!

Pikirkan dan Pertimbangkan Semua Pilihan. Karena Kau Harus Memilih, Gunakan Kata Hatimu. Ambil Apa Yang Baik Dari Kisahku Kawan.. Semua Hikmah. Sekarang atau Tidak Sama Sekali..!!!?

Read More

Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

October 18, 2011
 
BAGIAN KEEMPAT: DARI PERKAWINAN SAMPAI MASA KERASULANNYA (1/2)
 Muhammad Husain Haekal
 
    Perawakan dan sifat-sifat Muhammad - Penduduk Mekah
    membangun Ka'bah - Putusan Muhammad tentang Hajar Aswad
    - Pemikir-pemikir Quraisy dan paganisma - Putera-puteri
    Muhammad - Kematian putera-puterinya - Perkawinan
    putera-puterinya - Kecenderungan Muhammad menyendiri -
    Menjauhi dosa ke Gua Hira'- Mimpi Hakiki - Wahyu
    pertama.
 
 DENGAN duapuluh ekor unta  muda  sebagai  mas  kawin  Muhammad
 melangsungkan  perkawinannya itu dengan Khadijah. Ia pindah ke
 rumah  Khadijah  dalam  memulai  hidup  barunya   itu,   hidup
 suami-isteri  dan  ibu-bapa,  saling  mencintai  cinta sebagai
 pemuda berumur duapuluh lima tahun. Ia  tidak  mengenal  nafsu
 muda yang tak terkendalikan, juga ia tidak mengenal cinta buta
 yang dimulai  seolah  nyala  api  yang  melonjak-lonjak  untuk
 kemudian  padam  kembali.  Dari  perkawinannya  itu ia beroleh
 beberapa orang anak, laki-laki dan perempuan.  Kematian  kedua
 anaknya,  al-Qasim  dan  Abdullah  at-Tahir  at-Tayyib1  telah
 menimbulkan rasa duka yang dalam sekali. Anak-anak yang  masih
 hidup   semua   perempuan.   Bijaksana   sekali   ia  terhadap
 anak-anaknya dan sangat lemah-lembut. Merekapun  sangat  setia
 dan hormat kepadanya.
 
 Paras  mukanya  manis  dan  indah,  Perawakannya sedang, tidak
 terlampau tinggi, juga tidak pendek, dengan bentuk kepala yang
 besar,  berambut  hitam  sekali  antara  keriting  dan  lurus.
 Dahinya lebar dan rata di atas  sepasang  alis  yang  lengkung
 lebat  dan  bertaut,  sepasang  matanya  lebar  dan  hitam, di
 tepi-tepi putih matanya agak ke  merah-merahan,  tampak  lebih
 menarik  dan  kuat:  pandangan matanya tajam, dengan bulu-mata
 yang hitam-pekat. Hidungnya halus dan  merata  dengan  barisan
 gigi  yang  bercelah-celah.  Cambangnya lebar sekali, berleher
 panjang dan  indah.  Dadanya  lebar  dengan  kedua  bahu  yang
 bidang.  Warna kulitnya terang dan jernih dengan kedua telapak
 tangan dan kakinya yang tebal.
 
 Bila  berjalan  badannya  agak  condong   kedepan,   melangkah
 cepat-cepat  dan  pasti. Air mukanya membayangkan renungan dan
 penuh  pikiran,  pandangan  matanya  menunjukkan   kewibawaan,
 membuat orang patuh kepadanya.
 
 Dengan  sifatnya  yang  demikian itu tidak heran bila Khadijah
 cinta dan patuh kepadanya, dan tidak  pula  mengherankan  bila
 Muhammad  dibebaskan  mengurus  hartanya  dan dia sendiri yang
 memegangnya  seperti  keadaannya  semula   dan   membiarkannya
 menggunakan waktu untuk berpikir dan berenung.
 
 Muhammad  yang telah mendapat kurnia Tuhan dalam perkawinannya
 dengan Khadijah itu berada dalam  kedudukan  yang  tinggi  dan
 harta  yang  cukup. Seluruh penduduk Mekah memandangnya dengan
 rasa gembira dan hormat. Mereka  melihat  karunia  Tuhan  yang
 diberikan  kepadanya  serta  harapan akan membawa turunan yang
 baik  dengan  Khadijah.  Tetapi  semua  itu  tidak  mengurangi
 pergaulannya  dengan  mereka.  Dalam  hidup  hari-hari  dengan
 mereka partisipasinya tetap seperti sediakala. Bahkan ia lebih
 dihormati  lagi  di  tengah-tengah  mereka  itu. Sifatnya yang
 sangat  rendah  hati  lebih  kentara  lagi.  Bila   ada   yang
 mengajaknya  bicara  ia  mendengarkan  hati-hati  sekali tanpa
 menoleh kepada orang lain. Tidak saja mendengarkan kepada yang
 mengajaknya  bicara,  bahkan  ia rnemutarkan seluruh badannya.
 Bicaranya sedikit sekali, lebih banyak ia  mendengarkan.  Bila
 bicara selalu bersungguh-sungguh, tapi sungguhpun begitu iapun
 tidak melupakan ikut membuat humor  dan  bersenda-gurau,  tapi
 yang  dikatakannya  itu  selalu  yang  sebenarnya.  Kadang  ia
 tertawa sampai terlihat gerahamnya. Bila ia marah tidak pernah
 sampai  tampak  kemarahannya,  hanya  antara  kedua  keningnya
 tampak sedikit berkeringat. Ini  disebabkan  ia  menahan  rasa
 amarah  dan tidak mau menampakkannya keluar. Semua itu terbawa
 oleh kodratnya yang selalu lapang dada,  berkemauan  baik  dan
 menghargai  orang  lain.  Bijaksana  ia,  murah hati dan mudah
 bergaul. Tapi  juga  ia  mempunyai  tujuan  pasti,  berkemauan
 keras,   tegas  dan  tak  pernah  ragu-ragu  dalam  tujuannya.
 Sifat-sifat   demikian   ini   berpadu   dalam   dirinya   dan
 meninggalkan  pengaruh yang dalam sekali pada orang-orang yang
 bergaul dengan dia.  Bagi  orang  yang  melihatnya  tiba-tiba,
 sekaligus akan timbul rasa hormat, dan bagi orang yang bergaul
 dengan dia akan timbul rasa cinta kepadanya.
 
 Alangkah  besarnya  pengaruh   yang   terjalin   dalam   hidup
 kasih-sayang  antara  dia  dengan Khadijah sebagai isteri yang
 sungguh setia itu.
 
 Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus,  juga
 partisipasinya  dalam  kehidupan  masyarakat  hari-hari.  Pada
 waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir  besar
 yang   turun   dari  gunung,  pernah  menimpa  dan  meretakkan
 dinding-dinding Ka'bah yang memang sudah rapuk. Sebelum itupun
 pihak  Quraisy  memang  sudah memikirkannya. Tempat yang tidak
 beratap itu menjadi sasaran  pencuri  mengambil  barang-barang
 berharga  di  dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut; kalau
 bangunannya  diperkuat,  pintunya   ditinggikan   dan   diberi
 beratap,  dewa  Ka'bah  yang  suci itu akan menurunkan bencana
 kepada  mereka.  Sepanjang  zaman  Jahiliah   keadaan   mereka
 diliputi   oleh   pelbagai   macam   legenda   yang  mengancam
 barangsiapa yang berani mengadakan sesuatu  perubahan.  Dengan
 demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.
 
 Tetapi  sesudah mengalami bencana banjir tindakan demikian itu
 adalah suatu keharusan, walaupun masih serba  takut-takut  dan
 ragu-ragu.  Suatu  peristiwa  kebetulan  telah  terjadi sebuah
 kapal milik seorang pedagang Rumawi bernama Baqum2 yang datang
 dari  Mesir  terhempas di laut dan pecah. Sebenarnya Baqum ini
 seorang  ahli  bangunan   yang   mengetahui   juga   soal-soal
 perdagangan.   Sesudah   Quraisy   mengetahui  hal  ini,  maka
 berangkatlah al-Walid bin'l-Mughira dengan beberapa orang dari
 Quraisy  ke  Jidah.  Kapal itu dibelinya dari pemiliknya, yang
 sekalian diajaknya berunding supaya sama-sama datang ke  Mekah
 guna   membantu   mereka   membangun   Ka'bah  kembali.  Baqum
 menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seorang
 Kopti yang mempunyai keahlian sebagai tukang kayu. Persetujuan
 tercapai bahwa diapun akan  bekerja  dengan  mendapat  bantuan
 Baqum.
 
 Sudut-sudut  Ka'bah  itu oleh Quraisy dibagi empat bagian tiap
 kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak  dan  dibangun
 kembali.  Sebelum  bertindak  melakukan  perombakan itu mereka
 masih  ragu-ragu,  kuatir  akan  mendapat  bencana.   Kemudian
 al-Walid   bin'l-Mughira   tampil   ke  depan  dengan  sedikit
 takut-takut. Setelah ia berdoa kepada  dewa-dewanya  mulai  ia
 merombak   bagian   sudut   selatan.3   Tinggal   lagi   orang
 menunggu-nunggu apa yang akan dilakukan Tuhan  nanti  terhadap
 al-Walid.  Tetapi  setelah  ternyata  sampai  pagi tak terjadi
 apa-apa, merekapun  ramai-ramai  merombaknya  dan  memindahkan
 batu-batu yang ada. Dan Muhammad ikut pula membawa batu itu.
 
 Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di
 situ  dengan  pacul  tidak  berhasil,  dibiarkannya  batu  itu
 sebagai fondasi bangunan. Dan gunung-gunung sekitar tempat itu
 sekarang  orang-orang  Quraisy  mulai  mengangkuti   batu-batu
 granit  berwarna  biru,  dan  pembangunanpun  segera  dimulai.
 Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan  tiba  saatnya
 meletakkan  Hajar  Aswad yang disucikan di tempatnya semula di
 sudut timur, maka timbullah perselisihan di kalangan  Quraisy,
 siapa  yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu
 di tempatnya. Demikian memuncaknya perselisihan  itu  sehingga
 hampir   saja   timbul   perang  saudara  karenanya.  Keluarga
 Abd'd-Dar  dan  keluarga  'Adi  bersepakat  takkan  membiarkan
 kabilah yang manapun campur tangan dalam kehormatan yang besar
 ini. Untuk itu  mereka  mengangkat  sumpah  bersama.  Keluarga
 Abd'd-Dar  membawa  sebuah  baki  berisi  darah. Tangan mereka
 dimasukkan ke dalam baki itu guna  memperkuat  sumpah  mereka.
 Karena  itu  lalu  diberi  nama  La'aqat'd-Dam, yakni 'jilatan
 darah.'
 
 Abu Umayya bin'l-Mughira dari Banu Makhzum, adalah orang  yang
 tertua  di  antara  mereka,  dihormati  dan  dipatuhi. Setelah
 melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka:
 
 "Serahkanlah putusan kamu ini di  tangan  orang  yang  pertama
 sekali memasuki pintu Shafa ini."
 
 Tatkala  mereka melihat Muhammad adalah orang pertama memasuki
 tempat itu, mereka berseru: "Ini al-Amin; kami dapat menerima
 keputusannya."
 
 Lalu   mereka  menceritakan  peristiwa  itu  kepadanya.  Iapun
 mendengarkan  dan  sudah  melihat  di   mata   mereka   betapa
 berkobarnya  api  permusuhan  itu.  Ia berpikir sebentar, lalu
 katanya:  "Kemarikan  sehelai  kain,"  katanya.  Setelah  kain
 dibawakan   dihamparkannya   dan   diambilnya  batu  itu  lalu
 diletakkannya  dengan  tangannya  sendiri,  kemudian  katanya;
 "Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."
 
 Mereka  bersama-sama  membawa kain tersebut ke tempat batu itu
 akan diletakkan. Lalu Muhammad mengeluarkan batu itu dari kain
 dan  meletakkannya  di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
 itu berakhir dan bencana dapat dihindarkan.
 
 Quraisy  menyelesaikan   bangunan   Ka'bah   sampai   setinggi
 delapanbelas  hasta  (±  11 meter), dan ditinggikan dari tanah
 sedemikian rupa, sehingga mereka dapat menyuruh atau  melarang
 orang  masuk.  Di  dalam  itu mereka membuat enam batang tiang
 dalam dua deretan dan di sudut barat  sebelah  dalam  dipasang
 sebuah  tangga  naik  sampai  ke teras di atas lalu meletakkan
 Hubal  di  dalam  Ka'bah.  Juga  di  tempat   itu   diletakkan
 barang-barang  berharga  lainnya,  yang  sebelum  dibangun dan
 diberi beratap menjadi sasaran pencurian.
 
 Mengenai umur Muhammad waktu  membina  Ka'bah  dan  memberikan
 keputusannya   tentang  batu  itu,  masih  terdapat  perbedaan
 pendapat. Ada yang mengatakan berumur duapuluh lima tahun. Ibn
 Ishaq berpendapat umurnya tigapuluh lima tahun. Kedua pendapat
 itu baik yang pertama atau yang kemudian, sama saja; tapi yang
 jelas  cepatnya  Quraisy menerima ketentuan orang yang pertama
 memasuki pintu Shafa,  disusul  dengan  tindakannya  mengambil
 batu  dan  diletakkan di atas kain lalu mengambilnya dari kain
 dan diletakkan di tempatnya dalam Ka'bah,  menunjukkan  betapa
 tingginya  kedudukannya dimata penduduk Mekah, betapa besarnya
 penghargaan mereka kepadanya sebagai orang yang berjiwa besar.
 
 Adanya   pertentangan   antar-kabilah,   adanya   persepakatan
 La'aqat'd-Dam   ('Jilatan  Darah'),  dan  menyerahkan  putusan
 kepada barangsiapa mula-mula memasuki pintu Shafa, menunjukkan
 bahwa kekuasaan di Mekah sebenarnya sudah jatuh.
 
 Kekuasaan   yang   dulu   ada   pada   Qushayy,   Hasyim   dan
 Abd'l-Muttalib   sekarang   sudah   tak   ada   lagi.   Adanya
 pertentangan  kekuasaan  antara  keluarga  Hasyim dan keluarga
 Umayya   sesudah   matinya   Abd'l-Muttalib    besar    sekali
 pengaruhnya.
 
 Dengan jatuhnya kekuasaan demikian itu sudah wajar sekali akan
 membawa akibat buruk terhadap Mekah, kalau saja  tidak  karena
 adanya  rasa  kudus dalam hati semua orang Arab terhadap Rumah
 Purba itu. Dan jatuhnya kekuasaan itupun membawa akibat secara
 wajar  pula,  yakni  menambah  adanya kemerdekaan berpikir dan
 kebebasan  menyatakan  pendapat,  dan  menimbulkan  keberanian
 pihak  Yahudi  dan  kaum Nasrani mencela orang-orang Arab yang
 masih menyembah berhala itu - suatu hal yang tidak akan berani
 mereka  lakukan  sewaktu masih ada kekuasaan. Hal ini berakhir
 dengan  hilangnya  pemujaan  berhala-berhala  itu  dalam  hati
 penduduk  Mekah  dan  orang-orang  Quraisy  sendiri,  meskipun
 pemuka-pemuka dan pemimpin-pemimpin Mekah masih memperlihatkan
 adanya pemujaan dan penyembahan demikian itu. Sikap mereka ini
 sebenamya berasalan sekali; sebab mereka melihat, bahwa  agama
 yang  berlaku  itu  adalah  salah  satu alat yang akan menjaga
 ketertiban  serta  menghindarkan  adanya  kekacauan  berpikir.
 Dengan  adanya  penyembahan-penyembahan  berhala dalam Ka'bah,
 ini merupakan jaminan bagi Mekah sebagai pusat  keagamaan  dan
 perdagangan.   Dan   memang  demikianlah  sebenarnya,  dibalik
 kedudukan  ini  Mekah  dapat  juga  menikmati  kemakmuran  dan
 hubungan  dagangnya.  Akan  tetapi  itu  tidak  akan  mengubah
 hilangnya pemujaan berhala-berhala dalam hati penduduk Mekah.
 
 Ada beberapa keterangan yang  menyebutkan,  bahwa  pada  suatu
 hari  masyarakat  Quraisy sedang berkumpul di Nakhla merayakan
 berhala  'Uzza;  empat  orang  di  antara   mereka   diam-diam
 meninggalkan  upacara  itu.  Mereka  itu  ialah: Zaid b. 'Amr,
 Usman bin'l-Huwairith, 'Ubaidullah  b.  Jahsy  dan  Waraqa  b.
 Naufal.
 
 Mereka  satu sama lain berkata: "Ketahuilah bahwa masyarakatmu
 ini tidak punya tujuan; mereka dalam  kesesatan.  Apa  artinya
 kita  mengelilingi  batu  itu: memdengar tidak, melihat tidak,
 merugikan tidak,  menguntungkanpun  juga  tidak.  Hanya  darah
 korban  yang  mengalir  di  atas  batu  itu.  Saudara-saudara,
 marilah kita mencari agama lain, bukan ini."
 
 Dari antara mereka itu kemudian Waraqa menganut agama Nasrani.
 Konon  katanya  dia  yang menyalin Kitab Injil ke dalam bahasa
 Arab. 'Ubaidullah b. Jahsy  masih  tetap  kabur  pendiriannya.
 Kemudian  masuk  Islam dan ikut hijrah ke Abisinia. Di sana ia
 pindah menganut agama Nasrani sampai matinya. Tetapi isterinya
 -  Umm  Habiba  bint  Abi  Sufyan  - tetap dalam Islam, sampai
 kemudian  ia   menjadi   salah   seorang   isteri   Nabi   dan
 Umm'l-Mu'minin.
 
 Zaid  b.  'Amr  malah pergi meninggalkan isteri dan al-Khattab
 pamannya. Ia menjelajahi Syam dan Irak, kemudian kembali lagi.
 Tetapi  dia  tidak  mau menganut salah satu agama, baik Yahudi
 atau Nasrani. Juga dia meninggalkan  agama  masyarakatnya  dan
 menjauhi  berhala.  Dialah  yang  berkata, sambil bersandar ke
 dinding Ka'bah: "Ya Allah, kalau aku mengetahui,  dengan  cara
 bagaimana  yang  lebih  Kausukai  aku  menyembahMu, tentu akan
 kulakukan. Tetapi aku tidak me ngetahuinya."
 
 Usman bin'l-Huwairith, yang masih berkerabat dengan  Khadijah,
 pergi  ke  Rumawi Timur dan memeluk agama Nasrani. Ia mendapat
 kedudukan yang baik pada Kaisar Rumawi itu.  Disebutkan  juga,
 bahwa  ia  mengharapkan  Mekah  akan berada di bawah kekuasaan
 Rumawi dan dia berambisi  ingin  menjadi  Gubernurnya.  Tetapi
 penduduk  Mekah  mengusirnya. Ia pergi minta perlindungan Banu
 Ghassan di Syam. Ia bermaksud memotong perdagangan  ke  Mekah.
 Tetapi  hadiah-hadiah  penduduk  Mekah sampai juga kepada Banu
 Ghassan. Akhirnya ia mati di tempat itu karena diracun.
 
 Selama bertahun-tahun  Muhammad  tetap  bersama-sama  penduduk
 Mekah  dalam  kehidupan  masyarakat  sehari-hari. Ia menemukan
 dalam diri Khadijah teladan wanita terbaik; wanita yang  subur
 dan  penuh  kasih,  menyerahkan seluruh dirinya kepadanya, dan
 telah melahirkan anak-anak seperti: al-Qasim dan Abdullah yang
 dijuluki  at-Tahir  dan at-Tayyib, serta puteri-puteri seperti
 Zainab, Ruqayya, Umm Kulthum dan Fatimah. Tentang al-Qasim dan
 Abdullah tidak banyak yang diketahui, kecuali disebutkan bahwa
 mereka mati kecil pada zaman Jahiliah dan tak ada meninggalkan
 sesuatu  yang  patut  dicatat.  Tetapi yang pasti kematian itu
 meninggalkan bekas yang dalam pada orangtua  mereka.  Demikian
 juga pada diri Khadijah terasa sangat memedihkan hatinya.
 
 Pada  tiap  kematian  itu  dalam zaman Jahiliah tentu Khadijah
 pergi menghadap sang berhala menanyakannya: kenapa  berhalanya
 itu tidak memberikan kasih-sayangnya, kenapa berhala itu tidak
 melimpahkan rasa kasihan, sehingga  dia  mendapat  kemalangan,
 ditimpa   kesedihan  berulang-ulang!?  Perasaan  sedih  karena
 kematian  anak  demikian  sudah  tentu  dirasakan  juga   oleh
 suaminya.  Rasa  sedih  ini selalu melecut hatinya, yang hidup
 terbayang pada istennya, terlihat setiap ia  pulang  ke  rumah
 duduk-duduk di sampingnya
 
 Tidak begitu sulit bagi kita akan menduga betapa dalamnya rasa
 sedih  demikian  itu,  pada  suatu  zaman   yang   membenarkan
 anak-anak  perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan
 laki-laki sama dengan menjaga suatu  keharusan  hidup,  bahkan
 lebih  lagi  dan  itu.  Cukuplah  jadi  contoh betapa besarnya
 kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan
 tersebut,   sehingga   ketika   Zaid  b.  Haritha  didatangkan
 dimintanya   kepada   Khadijah   supaya   dibelinya   kemudian
 dimerdekakannya.   Waktu   itu   orang  menyebutnya  Zaid  bin
 Muhammad.  Keadaan  ini  tetap  demikian  hingga  akhirnya  ia
 menjadi  pengikut  dan sahabatnya yang terpilih. Juga Muhammad
 merasa sedih sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal
 pula.   Kesedihan  demikian  ini  timbul  juga  sesudah  Islam
 mengharamkan  menguburkan  anak  perempuan  hidup-hidup,   dan
 sesudah  menentukan  bahwa  sorga berada di bawah telapak kaki
 ibu.
 
 Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad  dengan  kematian
 kedua   anaknya   berpengaruh   juga   dalam   kehidupan   dan
 pemikirannya.  Sudah  tentu  pula  pikiran  dan   perhatiannya
 tertuju  pada  kemalangan  yang  datang  satu  demi  satu  itu
 menimpa,  yang  oleh  Khadijah  dilakukan  dengan   membawakan
 sesajen  buat  berhala-berhala dalam Ka'bah, menyembelih hewan
 buat Hubal, Lat, 'Uzza dan Manat, ketiga yang terakhir.4
 
 Ia  ingn  menebus  bencana  kesedihan  yang  menimpanya.  Akan
 tetapi,   semua  kurban-kurban  dan  penyembelihan  itu  tidak
 berguna sama sekali.
 
 Terhadap anak-anaknya yang perempuan juga Muhammad  memberikan
 perhatian,  dengan  mengawinkan mereka kepada yang dianggapnya
 memenuhi syarat (kufu'). Zainab yang sulung dikawinkan  dengan
 Abu'l-'Ash  bin'r-Rabi' b.'Abd Syams - ibunya masih bersaudara
 dengan Khadijah -  seorang  pemuda  yang  dihargai  masyarakat
 karena   kejujuran  dan  suksesnya  dalam  dunia  perdagangan.
 Perkawinan  ini  serasi  juga,  sekalipun   kemudian   sesudah
 datangnya  Islam  -  ketika  Zainab  akan  hijrah dan Mekah ke
 Medinah - mereka terpisah, seperti yang akan kita lihat  lebih
 terperinci  nanti.  Ruqayya  dan Umm Kulthum dikawinkan dengan
 'Utba dan 'Utaiba anak-anak Abu Lahab, pamannya. Kedua  isteri
 ini sesudah Islam terpisah dari suami mereka, karena Abu Lahab
 menyuruh kedua anaknya itu  menceraikan  isteri  mereka,  yang
 kemudian berturut-turut menjadi isteri Usman.5
 
 Ketika  itu  Fatimah  masih kecil dan perkawinannya dengan Ali
 baru sesudah datangnya Islam.
 
                                     (bersambung ke bagian 2/2)
 

0 komentar:

Post a Comment

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client