Selamat Datang Di Emye Private Blog
Membaca, mendengar, dan menterjemahkan Al Qur'an
Sedikit Bigraphy Singkat tentang Aku.
Title

Bapakku

Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...

Read More
Title

Ibuku

Ibuku.., Seorang Wanita yang Sangat Kuat, Tegar dan Banyak Akal. Bisa Menjadi Seorang Ibu Sekaligus "seorang ayah" Juga. Smart dalam bertahan hidup, Sabar di Keseharian, Walau Galak Tapi Pemaaf... Saluut Untukmu Mah...!

Read More
Title

Aku Yang...

Inilah Yang Dulu Selalu Mencari Masalah, dan Terkena Masalah dan Hampir Terkubur Karenanya.. Berharap Maaf dariNYA, Kedua Orangtuaku dan Juga Kalian Semua.. Do'akan RidhoNYA Untukku ya.. Terimakasih Untuk Kalian Semua...

Read More
Title

Rumahku Hidupku..No Place Like Home

Di Sinilah Awal Semua Kisahku.., Di Awali Dengan Kasih Sayang dan Pengharapan dan Di Jalani Dengan Kegilaan lalu Berakhir dengan Keterpurukan. No More Fly..No More Sky and No More Cry...

Read More
Title

Seberkas CahayaNYA...

Menunggu dan Berharap Banyak dariNYA... Jawaban dan Ampunan Setelah Doa-doa yang Kutambatkan.. Setiap Detik, Setiap Saat Sebelum Saat Akhir Hidupku Tiba...

Read More
Title

Pikirkan Dulu!

Pikirkan dan Pertimbangkan Semua Pilihan. Karena Kau Harus Memilih, Gunakan Kata Hatimu. Ambil Apa Yang Baik Dari Kisahku Kawan.. Semua Hikmah. Sekarang atau Tidak Sama Sekali..!!!?

Read More

Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

October 18, 2011
 
BAGIAN KETIGA: MUHAMMAD DARI KELAHIRAN                   (2/3) 
 SAMPAI PERKAWINANNYA
 Muhammad Husain Haekal
 
 Baik  kaum  Orientalis  maupun beberapa kalangan kaum Muslimin
 sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat  ini  dan
 menganggap   sumber  itu  lemah  sekali.  Yang  melihat  kedua
 laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah  itu
 hanya  anak-anak  yang  baru  dua tahun lebih sedikit umurnya.
 Begitu juga umur Muhammad waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber
 itu   sependapat   bahwa  Muhammad  tinggal  di  tengah-tengah
 Keluarga Sa'd itu sampai mencapai usia lima  tahun.  Andaikata
 peristiwa  itu  terjadi  ketika ia berusia dua setengah tahun,
 dan ketika itu Halimah dan  suaminya  mengembalikannya  kepada
 ibunya,  tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita
 itu yang tak dapat diterima. Oleh karena itu beberapa  penulis
 berpendapat,  bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga
 kalinya.
 
 Dalam hal ini Sir William Muir tidak  mau  menyebutkan  cerita
 tentang  dua  orang  berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan,
 bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya  suatu
 gangguan  kepada  anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu
 gangguan krisis urat-saraf, dan kalau  hal  itu  tidak  sampai
 mengganggu  kesehatannya  ialah  karena  bentuk  tubuhnya yang
 baik. Barangkali yang  lainpun  akan  berkata:  Baginya  tidak
 diperlukan  lagi  akan  ada  yang  harus  membelah  perut atau
 dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan  sudah  mempersiapkannya
 supaya  menjalankan  risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa
 cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari  yang  diketahui
 orang  dari  teks  ayat  yang  berbunyi:  "Bukankah sudah Kami
 lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang
 telah memberati punggungmu?" (Qur'an 94: 1-3)
 
 Apa  yang  telah  diisyaratkan  Qur'an  itu  adalah dalam arti
 rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan  (menyucikan)
 dan  mencuci  hati  yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian
 meneruskannya  seikhlas-ikhlasnya,  dengan  menanggung  segala
 beban karena Risalah yang berat itu.
 
 Dengan  demikian  apa  yang  diminta  oleh kaum Orientalis dan
 pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah  bahwa  peri  hidup
 Muhammad adalah sifatnya manusia semata-mata dan bersifat peri
 kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat  kenabiannya  itu
 memang  tidak  perlu  ia harus bersandar kepada apa yang biasa
 dilakukan oleh  mereka  yang  suka  kepada  yang  ajaib-ajaib.
 Dengan  demikian  mereka  beralasan  sekali  menolak tanggapan
 penulis-penulis Arab dan kaum Muslimin tentang peri hidup Nabi
 yang  tidak  masuk akal itu. Mereka berpendapat bahwa apa yang
 dikemukakan itu tidak sejalan dengan  apa  yang  diminta  oleh
 Qur'an   supaya   merenungkan   ciptaan   Tuhan,   dan   bahwa
 undang-undang Tuhan takkan ada yang berubah-ubah. Tidak sesuai
 dengan  ekspresi  Qur'an  tentang  kaum Musyrik yang tidak mau
 mendalami dan tidak mau mengerti juga.
 
 Muhammad tinggal pada Keluarga Sa'd sampai mencapai usia  lima
 tahun,  menghirup  jiwa  kebebasan dan kemerdekaan dalam udara
 sahara  yang  lepas  itu.  Dari   kabilah   ini   ia   belajar
 mempergunakan  bahasa  Arab  yang  murni,  sehingga  pernah ia
 mengatakan kepada teman-temannya kemudian:  "Aku  yang  paling
 fasih di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy tapi diasuh di
 tengah-tengah Keluarga Sa'd bin Bakr."
 
 Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan
 yang  indah  sekali dan kekal dalam jiwanya. Demikian juga Ibu
 Halimah dan keluarganya  tempat  dia  menumpahkan  rasa  kasih
 sayang dan hormat selama hidupnya itu.
 
 Penduduk  daerah  itu  pernah  mengalami  suatu  masa paceklik
 sesudah perkawinan Muhammad dengan Khadijah. Bilamana  Halimah
 kemudian  mengunjunginya, sepulangnya ia dibekali dengan harta
 Khadijah berupa unta yang dimuati air  dan  empat  puluh  ekor
 kambing. Dan setiap dia datang dibentangkannya pakaiannya yang
 paling berharga untuk tempat duduk Ibu Halimah  sebagai  tanda
 penghormatan. Ketika Syaima, puterinya berada di bawah tawanan
 bersama-sama pihak Hawazin setelah  Ta'if  dikepung,  kemudian
 dibawa  kepada  Muhammad,  ia segera mengenalnya. Ia dihormati
 dan dikembalikan kepada keluarganya  sesuai  dengan  keinginan
 wanita itu.
 
 Sesudah  lima  tahun, kemudian Muhammad kembali kepada ibunya.
 Dikatakan juga, bahwa Halimah pernah mencari tatkala ia sedang
 membawanya    pulang    ketempat    keluarganya   tapi   tidak
 menjumpainya. Ia mendatangi Abd'l-Muttalib dan  memberitahukan
 bahwa  Muhammad  telah  sesat jalan ketika berada di hulu kota
 Mekah. Lalu Abd'l-Muttalibpun menyuruh orang mencarinya,  yang
 akhirnya   dikembalikan   oleh  Waraqa  bin  Naufal,  demikian
 setengah orang berkata.
 
 Kemudian Abd'l-Muttalib yang bertindak mengasuh  cucunya  itu.
 Ia   memeliharanya   sungguh-sungguh  dan  mencurahkan  segala
 kasih-sayangnya kepada cucu ini. Biasanya buat orang tua itu -
 pemimpin  seluruh  Quraisy  dan pemimpin Mekah - diletakkannya
 hamparan  tempat  dia  duduk  di  bawah  naungan  Ka'bah,  dan
 anak-anaknya  lalu  duduk pula sekeliling hamparan itu sebagai
 penghormatan kepada orang tua. Tetapi  apabila  Muhammad  yang
 datang maka didudukkannya ia di sampingnya diatas hamparan itu
 sambil ia mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya
 rasa cintanya itu paman-paman Muhammad tidak mau membiarkannya
 di belakang dari tempat mereka duduk itu.
 
 Lebih-lebih lagi kecintaan kakek  itu  kepada  cucunya  ketika
 Aminah   kemudian   membawa   anaknya  itu  ke  Medinah  untuk
 diperkenalkan  kepada  saudara-saudara  kakeknya  dari   pihak
 Keluarga Najjar.
 
 Dalam perjalanan itu dibawanya juga Umm Aiman, budak perempuan
 yang ditinggalkan ayahnya dulu.  Sesampai  mereka  di  Medinah
 kepada  anak  itu diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal
 dulu serta tempat ia dikuburkan. Itu adalah yang pertama  kali
 ia  merasakan  sebagai  anak yatim. Dan barangkali juga ibunya
 pernah menceritakan dengan panjang lebar tentang ayah tercinta
 itu,   yang   setelah  beberapa  waktu  tinggal  bersama-sama,
 kemudian meninggal dunia di tengah-tengah pamannya dari  pihak
 ibu.  Sesudah  Hijrah  pernah  juga  Nabi  menceritakan kepada
 sahabat-sahabatnya kisah perjalanannya yang pertama ke Medinah
 dengan  ibunya itu. Kisah yang penuh cinta pada Medinah, kisah
 yang penuh duka pada orang yang ditinggalkan keluarganya.
 
 Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Medinah, Aminah  sudah
 bersiap-siap  akan  pulang.  Ia  dan  rombongan kembali pulang
 dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
 tengah  perjalanan,  ketika  mereka  sampai  di Abwa',2 ibunda
 Aminah menderita sakit, yang kemudian meninggal dan dikuburkan
 pula di tempat itu.
 
 Anak  itu  oleh  Umm  Aiman  dibawa  pulang  ke  Mekah, pulang
 menangis dengan hati yang pilu, sebatang kara. Ia makin merasa
 kehilangan;  sudah  ditakdirkan  menjadi  anak  yatim.  Terasa
 olehnya hidup yang makin sunyi,  makin  sedih.  Baru  beberapa
 hari   yang   lalu  ia  mendengar  dari  Ibunda  keluhan  duka
 kehilangan Ayahanda semasa ia masih dalam kandungan.  Kini  ia
 melihat  sendiri  dihadapannya,  ibu pergi untuk tidak kembali
 lagi, seperti ayah dulu.  Tubuh  yang  masih  kecil  itu  kini
 dibiarkan memikul beban hidup yang berat, sebagai yatim-piatu.
 
 Lebih-lebih  lagi  kecintaan  Abd'l-Muttalib kepadanya. Tetapi
 sungguhpun begitu, kenangan sedih sebagai anak yatim-piatu itu
 bekasnya masih mendalam sekali dalam jiwanya sehingga di dalam
 Qur'anpun disebutkan,  ketika  Allah  mengingatkan  Nabi  akan
 nikmat  yang  dianugerahkan  kepadanya  itu:  "Bukankah engkau
 dalam keadaan yatim-piatu? Lalu diadakanNya  orang  yang  akan
 melindungimu?  Dan  menemukan  kau  kehilangan  pedoman,  lalu
 ditunjukkanNya jalan itu?" (Qur'an, 93: 6-7)
 
 Kenangan yang memilukan hati ini barangkali akan  terasa  agak
 meringankan juga sedikit, sekiranya Abd'l-Muttalib masih dapat
 hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua  itu  juga  meninggal,
 dalam  usia delapanpuluh tahun, sedang Muhammad waktu itu baru
 berumur  delapan  tahun.  Sekali   lagi   Muhammad   dirundung
 kesedihan  karena  kematian  kakeknya  itu, seperti yang sudah
 dialaminya  ketika  ibunya  meninggal.  Begitu  sedihnya  dia,
 sehingga   selalu  ia  menangis  sambil  mengantarkan  keranda
 jenazah sampai ketempat peraduan terakhir.
 
 Bahkan sesudah itupun ia masih tetap mengenangkannya sekalipun
 sesudah  itu,  di  bawah asuhan Abu Talib pamannya ia mendapat
 perhatian  dan  pemeliharaan  yang   baik   sekali,   mendapat
 perlindungan  sampai  masa  kenabiannya,  yang  terus demikian
 sampai pamannya itupun achirnya meninggal.
 
 Sebenarnya kematian Abd'l-Muttalib ini merupakan pukulan berat
 bagi Keluarga Hasyim semua. Di antara anak-anaknya itu tak ada
 yang  seperti  dia:  mempunyai  keteguhan  hati,   kewibawaan,
 pandangan  yang  tajam,  terhormat dan berpengaruh di kalangan
 Arab semua. Dia menyediakan makanan dan  minuman  bagi  mereka
 yang  datang  berziarah,  memberikan  bantuan  kepada penduduk
 Mekah bila mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak  ada
 lagi  dari  anak-anaknya  itu yang akan dapat meneruskan. Yang
 dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu,  sedang  yang
 kaya  hidupnya  kikir  sekali.  Oleh  karena itu maka Keluarga
 Umaya yang lalu tampil ke depan akan mengambil tampuk pimpinan
 yang  memang  sejak  dulu  diinginkan  itu, tanpa menghiraukan
 ancaman yang datang dari pihak Keluarga Hasyim.
 
 Pengasuhan Muhammad di pegang oleh Abu  Talib,  sekalipun  dia
 bukan yang tertua di antara saudara-saudaranya. Saudara tertua
 adalah Harith, tapi dia tidak seberapa mampu. Sebaliknya Abbas
 yang mampu, tapi dia kikir sekali dengan hartanya. Oleh karena
 itu ia hanya memegang urusan siqaya (pengairan) tanpa mengurus
 rifada  (makanan). Sekalipun dalam kemiskinannya itu, tapi Abu
 Talib  mempunyai  perasaan  paling  halus  dan  terhormat   di
 kalangan   Quraisy.   Dan   tidak   pula   mengherankan  kalau
 Abd'l-Muttalib menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu
 Talib.
 
 Abu    Talib   mencintai   kemenakannya   itu   sama   seperti
 Abd'l-Muttalib juga. Karena kecintaannya itu  ia  mendahulukan
 kemenakan daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad
 yang luhur, cerdas, suka berbakti dan baik hati,  itulah  yang
 lebih  menarik hati pamannya. Pernah pada suatu ketika ia akan
 pergi ke Syam membawa dagangan - ketika itu usia Muhammad baru
 duabelas  tahun  -  mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi
 padang pasir, tak terpikirkan olehnya akan  membawa  Muhammad.
 Akan  tetapi  Muhammad  yang  dengan  ikhlas  menyatakan  akan
 menemani pamannya  itu,  itu  juga  yang  menghilangkan  sikap
 ragu-ragu dalam hati Abu Talib.
 
 Anak  itu  lalu  turut  serta  dalam rombongan kafilah, hingga
 sampai di Bushra di  sebelah  selatan  Syam.  Dalam  buku-buku
 riwayat  hidup  Muhammad  diceritakan,  bahwa dalam perjalanan
 inilah ia bertemu dengan rahib Bahira,  dan  bahwa  rahib  itu
 telah  melihat  tanda-tanda  kenabian  padanya  sesuai  dengan
 petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber  menceritakan,
 bahwa   rahib   itu  menasehatkan  keluarganya  supaya  jangan
 terlampau  dalam  memasuki  daerah  Syam,  sebab   dikuatirkan
 orang-orang   Yahudi  yang  mengetahui  tanda-tanda  itu  akan
 berbuat jahat terhadap dia.
 
 Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah  itu
 melihat  luasnya  padang  pasir,  menatap bintang-bintang yang
 berkilauan  di  langit  yang  jernih   cemerlang.   Dilaluinya
 daerah-daerah    Madyan,    Wadit'l-Qura   serta   peninggalan
 bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan  telinganya  yang
 tajam  segala  cerita  orang-orang Arab dan penduduk pedalaman
 tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau.
 Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun
 yang lebat dengan buab-buahan  yang  sudah  masak,  yang  akan
 membuat  ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita
 orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya
 dengan  dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di
 sekeliling Mekah itu. Di Syam  ini  juga  Muhammad  mengetahui
 berita-berita  tentang  Kerajaan  Rumawi dan agama Kristennya,
 didengarnya berita tentang Kitab  Suci  mereka  serta  oposisi
 Persia  dari  penyembah  api  terhadap mereka dan persiapannya
 menghadapi perang dengan Persia.
 
 Sekalipun  usianya  baru  dua  belas  tahun,  tapi  dia  sudah
 mempunyai  persiapan  kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman
 otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam  dan  ingatan
 yang  cukup  kuat  serta  segala  sifat-sifat semacam itu yang
 diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima
 risalah  (misi)  maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat
 ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki,  meneliti.  Ia  tidak
 puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya
 kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?
 
 Tampaknya  Abu  Talib  tidak   banyak   membawa   harta   dari
 perjalanannya   itu.   Ia  tidak  lagi  mengadakan  perjalanan
 demikian.  Malah  sudah  merasa  cukup   dengan   yang   sudah
 diperolehnya  itu.  Ia  menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya
 yang  banyak  sekalipun  dengan  harta  yang  tidak  seberapa.
 Muhammad  juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada.
 Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka  yang
 seusia  dia.  Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di
 Mekah  dengan  keluarga,  kadang  pergi  bersama   mereka   ke
 pekan-pekan   yang   berdekatan   dengan  'Ukaz,  Majanna  dan
 Dhu'l-Majaz,  mendengarkan  sajak-sajak  yang  dibawakan  oleh
 penyair-penyair  Mudhahhabat  dan  Mu'allaqat.3 Pendengarannya
 terpesona oleh sajak-sajak yang fasih  melukiskan  lagu  cinta
 dan  puisi-puisi  kebanggaan,  melukiskan nenek moyang mereka,
 peperangan  mereka,  kemurahan  hati  dan  jasa-jasa   mereka.
 Didengarnya  ahli-ahli  pidato di antaranya orang-orang Yahudi
 dan  Nasrani  yang  membenci  paganisma  Arab.  Mereka  bicara
 tentang  Kitab-kitab  Suci  Isa  dan Musa, dan mengajak kepada
 kebenaran  menurut  keyakinan  mereka.  Dinilainya  semua  itu
 dengan  hati  nuraninya,  dilihatnya  ini  lebih baik daripada
 paganisma yang telah  menghanyutkan  keluarganya  itu.  Tetapi
 tidak sepenuhnya ia merasa lega.
 
 Dengan  demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya
 ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat
 mula  pertama  datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia
 menyampaikan  risalahNya  itu.  Yakni  risalah  kebenaran  dan
 petunjuk bagi seluruh umat manusia.
 
 Kalau  Muhammad  sudah mengenal seluk-beluk jalan padang pasir
 dengan pamannya  Abu  Talib,  sudah  mendengar  para  penyair,
 ahli-ahli  pidato  membacakan  sajak-sajak  dan  pidato-pidato
 dengan  keluarganya  dulu  di  pekan  sekitar   Mekah   selama
 bulan-bulan  suci,  maka ia juga telah mengenal arti memanggul
 senjata, ketika ia  mendampingi  paman-pamannya  dalam  Perang
 Fijar.  Dan  Perang  Fijar  itulah  di  antaranya  yang  telah
 menimbulkan  dan  ada  sangkut-pautnya  dengan  peperangan  di
 kalangan  kabilah-kabilah Arab. Dinamakan al-fijar4 ini karena
 ia terjadi dalam bulan-bulan suci, pada waktu  kabilah-kabilah
 seharusnya   tidak   boleh   berperang.   Pada   waktu  itulah
 pekan-pekan dagang diadakan di  'Ukaz,  yang  terletak  antara
 Ta'if  dengan  Nakhla  dan  antara Majanna dengan Dhu'l-Majaz,
 tidak jauh dari 'Arafat. Mereka di sana saling  tukar  menukar
 perdagangan,  berlumba  dan  berdiskusi,  sesudah itu kemudian
 berziarah ke tempat berhala-berhala mereka  di  Ka'bah.  Pekan
 'Ukaz  adalah pekan yang paling terkenal di antara pekan-pekan
 Arab  lainnya.  Di  tempat   itu   penyair-penyair   terkemuka
 membacakan  sajak-sajaknya  yang  terbaik,  di tempat itu Quss
 (bin Sa'ida) berpidato dan  di  tempat  itu  pula  orang-orang
 Yahudi,  Nasrani dan penyembah-penyembah berhala masing-masing
 mengemukakan pandangan dengan bebas,  sebab  bulan  itu  bulan
 suci.
 
 Akan  tetapi  Barradz  bin Qais dari kabilah Kinana tidak lagi
 menghormati  bulan  suci  itu  dengan   mengambil   kesempatan
 membunuh  'Urwa  ar-Rahhal  bin  'Utba  dari  kabilah Hawazin.
 Kejadian  ini  disebabkan  oleh  karena  Nu'man  bin'l-Mundhir
 setiap  tahun  mengirimkan  sebuah  kafilah dari Hira ke 'Ukaz
 membawa muskus,  dan  sebagai  gantinya  akan  kembali  dengan
 membawa  kulit  hewan, tali, kain tenun sulam Yaman. Tiba-tiba
 Barradz tampil  sendiri  dan  membawa  kafilah  itu  ke  bawah
 pengawasan  kabilah  Kinana.  Demikian  juga 'Urwa lalu tampil
 pula sendiri dengan melintasi jalan Najd menuju Hijaz.
 
 Adapun pilihan  Nu'man  terhadap  'Urwa  (Hawazin)  ini  telah
 menimbulkan   kejengkelan   Barradz  (Kinana),  yang  kemudian
 mengikutinya dari belakang,  lalu  membunuhnya  dan  mengambil
 kabilah  itu.  Sesudah  itu  kemudian  Barradz  memberitahukan
 kepada Basyar bin Abi Hazim, bahwa pihak Hawazin akan menuntut
 balas  kepada  Quraisy.  Fihak Hawazin segera menyusul Quraisy
 sebelum masuknya bulan suci.  Maka  terjadilah  perang  antara
 mereka itu. Pihak Quraisy mundur dan menggabungkan diri dengan
 pihak yang menang di Mekah. Pihak Hawazin  memberi  peringatan
 bahwa tahun depan perang akan diadakan di 'Ukaz.
 
 Perang  demikian  ini  berlangsung  antara  kedua  belah pihak
 selama empat tahun terus-menerus  dan  berakhir  dengan  suatu
 perdamaian   model  pedalaman,  yaitu  yang  menderita  korban
 manusia lebih  kecil  harus  membayar  ganti  sebanyak  jumlah
 kelebihan  korban  itu kepada pihak lain. Maka dengan demikian
 Quraisy telah  membayar  kompensasi  sebanyak  duapuluh  orang
 Hawazin.  Nama  Barradz  ini  kemudian menjadi peribahasa yang
 menggambarkan kemalangan. Sejarah tidak  memberikan  kepastian
 mengenai  umur  Muhammad  pada waktu Perang Fijar itu terjadi.
 Ada yang mengatakan umurnya limabelas  tahun,  ada  juga  yang
 mengatakan  duapuluh tahun. Mungkin sebab perbedaan ini karena
 perang tersebut berlangsung selama  empat  tahun.  Pada  tahun
 permulaan   ia   berumur   limabelas   tahun  dan  pada  tahun
 berakhirnya perang itu ia sudah memasuki umur duapuluh tahun.
 
                                     (bersambung ke bagian 3/3)
 

0 komentar:

Post a Comment

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client