Selamat Datang Di Emye Private Blog
Membaca, mendengar, dan menterjemahkan Al Qur'an
Sedikit Bigraphy Singkat tentang Aku.
Title

Bapakku

Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...

Read More
Title

Ibuku

Ibuku.., Seorang Wanita yang Sangat Kuat, Tegar dan Banyak Akal. Bisa Menjadi Seorang Ibu Sekaligus "seorang ayah" Juga. Smart dalam bertahan hidup, Sabar di Keseharian, Walau Galak Tapi Pemaaf... Saluut Untukmu Mah...!

Read More
Title

Aku Yang...

Inilah Yang Dulu Selalu Mencari Masalah, dan Terkena Masalah dan Hampir Terkubur Karenanya.. Berharap Maaf dariNYA, Kedua Orangtuaku dan Juga Kalian Semua.. Do'akan RidhoNYA Untukku ya.. Terimakasih Untuk Kalian Semua...

Read More
Title

Rumahku Hidupku..No Place Like Home

Di Sinilah Awal Semua Kisahku.., Di Awali Dengan Kasih Sayang dan Pengharapan dan Di Jalani Dengan Kegilaan lalu Berakhir dengan Keterpurukan. No More Fly..No More Sky and No More Cry...

Read More
Title

Seberkas CahayaNYA...

Menunggu dan Berharap Banyak dariNYA... Jawaban dan Ampunan Setelah Doa-doa yang Kutambatkan.. Setiap Detik, Setiap Saat Sebelum Saat Akhir Hidupku Tiba...

Read More
Title

Pikirkan Dulu!

Pikirkan dan Pertimbangkan Semua Pilihan. Karena Kau Harus Memilih, Gunakan Kata Hatimu. Ambil Apa Yang Baik Dari Kisahku Kawan.. Semua Hikmah. Sekarang atau Tidak Sama Sekali..!!!?

Read More

Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

October 19, 2011

 

1. KEBUDAYAAN ISLAM SEPERTI DILUKISKAN QUR'AN            (1/6)
    Muhammad Husain Haekal
 
    MUHAMMAD telah meninggalkan warisan rohani yang agung,
    yang telah menaungi dunia dan memberi arah kepada
    kebudayaan dunia selama dalam beberapa abad yang lalu.
    Ia akan terus demikian sampai Tuhan menyempurnakan
    cahayaNya ke seluruh dunia. Warisan yang telah memberi
    pengaruh besar pada masa lampau itu, dan akan demikian,
    bahkan lebih lagi pada masa yang akan datang, ialah
    karena ia telah membawa agama yang benar dan meletakkan
    dasar kebudayaan satu-satunya yang akan menjamin
    kebahagiaan dunia ini. Agama dan kebudayaan yang telah
    dibawa Muhammad kepada umat manusia melalui wahyu Tuhan
    itu, sudah begitu berpadu sehingga tidak dapat lagi
    terpisahkan.
 
 Kalau pun kebudayaan Islam ini didasarkan kepada metoda-metoda
 ilmu pengetahuan dan kemampuan rasio, - dan dalam hal ini sama
 seperti yang  menjadi  pegangan  kebudayaan  Barat  masa  kita
 sekarang,  dan  kalau  pun  sebagai agama Islam berpegang pada
 pemikiran yang subyektif dan pada pemikiran  metafisika  namun
 hubungan   antara   ketentuan-ketentuan   agama  dengan  dasar
 kebudayaan  itu  erat  sekali.  Soalnya  ialah   karena   cara
 pemikiran  yang  metafisik dan perasaan yang subyektif di satu
 pihak,  dengan  kaidah-kaidah  logika   dan   kemampuan   ilmu
 pengetahuan  di pihak lain oleh Islam dipersatukan dengan satu
 ikatan, yang mau tidak mau memang perlu  dicari  sampai  dapat
 ditemukan,  untuk  kemudian  tetap  menjadi orang Islam dengan
 iman yang kuat pula. Dari segi ini  kebudayaan  Islam  berbeda
 sekali  dengan kebudayaan Barat yang sekarang menguasai dunia,
 juga dalam melukiskan hidup dan dasar yang menjadi landasannya
 berbeda.  Perbedaan  kedua  kebudayaan  ini,  antara yang satu
 dengan  yang  lain  sebenarnya  prinsip  sekali,  yang  sampai
 menyebabkan  dasar keduanya itu satu sama lain saling bertolak
 belakang.

 Timbulnya pertentangan ini ialah karena alasan-alasan sejarah,
 seperti  sudah  kita singgung dalam prakata dan kata pengantar
 cetakan kedua buku ini. Pertentangan di Barat antara kekuasaan
 agama  dan  kekuasaan  temporal1  sebagai bangsa yang menganut
 agama Kristen   atau dengan bahasa sekarang     antara  gereja
 dengan negara     menyebabkan keduanya itu harus berpisah, dan
 kekuasaan  negara  harus  ditegakkan  untuk   tidak   mengakui
 kekuasaan  gereja.  Adanya  konflik  kekuasaan  itu  ada  juga
 pengaruhnya dalam pemikiran Barat secara  keseluruhan.  Akibat
 pertama  dari  pengaruh  itu  ialah  adanya  permisahan antara
 perasaan manusia  dengar  pikiran  manusia,  antara  pemikiran
 metafisik  dengan  ketentuan-ketentuan ilmu positif (knowledge
 of   reality)   yang   berlandaskan   tinjauan   materialisma.
 Kemenangan  pikiran  materialisma ini besar sekali pengaruhnya
 terhadap lahirnya suatu  sistem  ekonomi  yang  telah  menjadi
 dasar utama kebudayaan Barat.

 Sebagai  akibatnya,  di  Barat telah timbul pula aliran-aliran
 yang hendak membuat segala yang ada di muka  bumi  ini  tunduk
 kepada  kehidupan  dunia  ekonomi.  Begitu  juga tidak sedikit
 orang rang ingin menempatkan sejarah umat  manusia  dari  segi
 agamanya,  seni,  f1lsafat, cara berpikir dan pengetahuannya -
 dalam segala pasang surutnya pada  berbagai  bangsa  -  dengan
 ukuran  ekonomi. Pikiran ini tidak terbatas hanya pada sejarah
 dan penulisannya, bahkan beberapa aliran filsafat Barat  telah
 pula  membuat pola-pola etik atas dasar kemanfaatan materi ini
 semata-mata. Sungguh  pun  aliran-aliran  demikian  ini  dalam
 pemikirannya  sudah  begitu  tinggi  dengan daya ciptanya yang
 besar sekali, namun perkembangan pikiran di  Barat  itu  telah
 membatasinya  pada  batas-batas  keuntungan materi yang secara
 kolektif dibuat oleh pola-pola etik  itu  secara  keseluruhan.
 Dan  dari segi pembahasan ilmiah hal ini sudah merupakan suatu
 keharusan yang sangat mendesak.
 
 Sebaiiknya mengenai masalah rohani, masalah  spiritual,  dalam
 pandangan  kebudayaan Barat ini adalah masalah pribadi semata,
 orang tidak perlu memberikan perhatian bersama untuk itu. Oleh
 karenanya  membiarkan  masalah kepercayaan ini secara bebas di
 Barat merupakan suatu hal  yang  diagungkan  sekali,  melebihi
 kebebasan   dalam   soal   etik.   Sudah  begitu  rupa  mereka
 mengagungkan masalah kebebasan etik itu demi kebebasan ekonomi
 yang   sudah   sama   sekali   terikat   oleh   undang-undang.
 Undang-undang ini akan dilaksanakan  oleh  tentara  atau  oleh
 negara dengan segala kekuatan yang ada.

 Kebudayaan  yang  hendak  menjadikan kehidupan ekonomi sebagai
 dasarnya, dan pola-pola etik didasarkan  pula  pada  kehidupan
 ekonomi  itu  dengan tidak menganggap penting arti kepercayaan
 dalam kehidupan umum, dalam merambah jalan untuk umat  manusia
 mencapai   kebahagiaan  seperti  yang  dicita-citakannya  itu,
 menurut  hemat  saya  tidak  akan  mencapai   tujuan.   Bahkan
 tanggapan  terhadap  hidup  demikian ini sudah sepatutnya bila
 akan menjerumuskan umat manusia  ke  dalam  penderitaan  berat
 seperti  yang  dialami  dalam  abad-abad belakangan ini. Sudah
 seharusnya pula apabila segala pikiran  dalam  usaha  mencegah
 perang  dan mengusahakan perdamaian dunia tidak banyak membawa
 arti dan hasilnya pun tidak  seberapa.  Selama  hubungan  saya
 dengan  saudara  dasarnya  adalah sekerat roti yang saya makan
 atau yang saudara makan, kita berebut, bersaing dan bertengkar
 untuk  itu,  masing-masing  berpendirian  atas  dasar kekuatan
 hewaninya,  maka  akan  selalu  kita  masing-masing   menunggu
 kesempatan  baik  untuk  secara  licik memperoleh sekerat roti
 yang di tangan temannya itu. Masing-masing kita satu sama lain
 akan  selalu  melihat  teman  itu sebagai lawan, bukan sebagai
 saudara. Dasar etik yang tersembunyi dalam diri kita ini  akan
 selalu  bersifat  hewani,  sekali  pun masih tetap tersembunyi
 sampai pada waktunya nanti ia akan timbul.  Yang  selalu  akan
 menjadi pegangan dasar etik ini satu-satunya ialah keuntungan.
 Sementara arti perikemanusiaan  yang  tinggi,  prinsip-prinsip
 akhlak  yang  terpuji, altruisma, cinta kasih dan persaudaraan
 akan jatuh tergelincir, dan  hampir-harnpir  sudah  tak  dapat
 dipegang lagi.
 
 Apa  yang  terjadi  dalam  dunia  dewasa  ini ialah bukti yang
 paling nyata atas apa yang saya sebutkan itu.  Persaingan  dan
 pertentangan  ialah  gejala  pertama dalam sistem ekonomi, dan
 itu pula gejala pertamanya dalam kebudayaan Barat, baik  dalam
 paham  yang  individualistis,  maupun  sosialistis  sama  saja
 adanya. Dalam  paham  individualisma,  buruh  bersaing  dengan
 buruh,  pemilik  modal  dengan  pemilik  modal.  Buruh  dengan
 pemilik  modal  ialah  dua   lawan   yang   saling   bersaing.
 Pendukung-pendukung paham ini berpendapat bahwa persaingan dan
 pertentangan ini akan membawa  kebaikan  dan  kemajuan  kepada
 umat  manusia.  Menurut mereka ini merupakan perangsang supaya
 bekerja lebih tekun dan perangsang untuk pembagian kerja,  dan
 akan menjadi neraca yang adil dalam membagi kekayaan.
 
 Sebaliknya  paham sosialisma yang berpendapat bahwa perjuangan
 kelas yang harus disudahi dengan kekuasaan  berada  di  tangan
 kaum  buruh,  merupakan  salah  satu  keharusan  alam.  Selama
 persaingan dan perjuangan mengenai harta itu  dijadikan  pokok
 kehidupan,  selama  pertentangan  antar-kelas  itu wajar, maka
 pertentangan antar-bangsa juga wajar, dengan tujuan yang  sama
 seperti   pada   perjuangan   kelas.   Dari  sinilah  konsepsi
 nasionalisma itu, dengan  sendirinya,  memberi  pengaruh  yang
 menentukan   terhadap   sistem   ekonomi.  Apabila  perjuangan
 bangsa-bangsa untuk menguasai harta itu wajar, apabila  adanya
 penjajahan  untuk  itu  wajar  pula,  bagaimana mungkin perang
 dapat dicegah dan perdamaian  di  dunia  dapat  dijamin?  Pada
 menjelang  akhir abad ke-20 ini kita telah dapat menyaksikan -
 dan masih dapat kita  saksikan  -  adanya  bukti-bukti,  bahwa
 perdamaian  di  muka bumi dengan dasar kebudayaan yang semacam
 ini hanya dalam impian saja dapat  dilaksanakan,  hanya  dalam
 cita-cita  yang manis bermadu, tetapi dalam kenyataannya tiada
 lebih dari suatu fatamorgana yang kosong belaka.

 Kebudayaan Islam  lahir  atas  dasar  yang  bertolak  belakang
 dengan dasar kebudayaan Barat. Ia lahir atas dasar rohani yang
 mengajak  manusia  supaya  pertama  sekali   dapat   menyadari
 hubungannya  dengan  alam  dan tempatnya dalam alam ini dengan
 sebaik-baiknya. Kalau kesadaran demikian ini sudah  sampai  ke
 batas  iman,  maka  imannya  itu  mengajaknya  supaya ia tetap
 terus-menerus mendidik dan melatih diri, membersihkan  hatinya
 selalu,  mengisi jantung dan pikirannya dengan prinsip-prinsip
 yang lebih luhur - prinsip-prinsip harga  diri,  persaudaraan,
 cinta kasih, kebaikan dan berbakti. Atas dasar prinsip-prinsip
 inilah manusia hendaknya menyusun kehidupan  ekonominya.  Cara
 bertahap  demikian ini adalah dasar kebudayaan Islam, seperti
 wahyu yang telah diturunkan kepada Muhammad,  yakni  mula-mula
 kebudayaan  rohani,  dan  sistem kerohanian disini ialah dasar
 sistem pendidikan serta dasar  pola-pola  etik  (akhlak).  Dan
 prinsip-prinsip  etik ini ialah dasar sistem ekonominya. Tidak
 dapat dibenarkan tentunya dengan  cara  apa  pun  mengorbankan
 prinsip-prinsip  etik  ini  untuk  kepentingan  sistem ekonomi
 tadi.
 
 Tanggapan Islam tentang kebudayaan demikian ini menurut  hemat
 saya  ialah  tanggapan yang sesuai dengan kodrat manusia, yang
 akan menjamin kebahagiaan baginya. Kalau ini  yang  ditanamkan
 dalam  jiwa  kita dan kehidupan seperti dalam kebudayaan Barat
 itu kesana pula jalannya, niscaya corak umat manusia itu  akan
 berubah,  prinsip-prinsip  yang  selama  ini  menjadi pegangan
 orang  akan  runtuh,  dan   sebagai   gantinya   akan   timbul
 prinsip-prinsip  yang  lebih  luhur, yang akan dapat mengobati
 krisis dunia kita sekarang ini sesuai dengan tuntunannya  yang
 lebih cemerlang.
 
 Sekarang orang di Barat dan di Timur berusaha hendak mengatasi
 krisis ini, tanpa mereka sadari - dan  kaum  Muslimin  sendiri
 pun   tidak  pula  menyadari  -  bahwa  Islam  dapat  menjamin
 mengatasinya. Orang-orang di Barat dewasa ini  sedang  mencari
 suatu  pegangan  rohani  yang  baru, yang akan dapat menanting
 mereka dari paganisma yang sedang  menjerumuskan  mereka;  dan
 sebab   timbulnya   penderitaan   mereka  itu,  penyakit  yang
 menancapkan mereka ke dalam kancah  peperangan  antara  sesama
 mereka,   ialah   mammonisma   -   penyembahan  kepada  harta.
 Orang-orang Barat mencari pegangan baru itu  didalam  beberapa
 ajaran  di  India  dan  di  Timur Jauh; padahal itu akan dapat
 mereka peroleh tidak jauh dari mereka, akan mereka dapati  itu
 sudah ada ketentuannya didalam Qu'ran, sudah dilukiskan dengan
 indah sekali dengan teladan yang sangat  baik  diberikan  oleh
 Nabi kepada manusia selama masa hidupnya.
 
 Bukan  maksud  saya  hendak melukiskan kebudayaan Islam dengan
 segala ketentuannya itu disini. Lukisan  demikian  menghendaki
 suatu  pembahasan  yang  mendalam,  yang  akan  meminta tempat
 sebesar buku ini atau lebih besar lagi. Akan tetapi -  setelah
 dasar  rohani  yang  menjadi  landasannya  itu  saya  singgung
 seperlunya  -  lukisan  kebudayaan  itu  disini   ingin   saya
 simpulkan,  kalau-kalau  dengan  demikian  ajaran  Islam dalam
 keseluruhannya  dapat   pula   saya   gambarkan   dan   dengan
 penggambaran  itu  saya akan merambah jalan ke arah pembahasan
 yang lebih dalam lagi.  Dan  sebelum  melangkah  ke  arah  itu
 kiranya  akan  ada  baiknya juga saya memberi sekadar isyarat,
 bahwa  sebenarnya  dalam  sejarah   Islam   memang   tak   ada
 pertentangan   antara   kekuasaan   agama  (theokrasi)  dengan
 kekuasaan temporal, yakni antara gereja dengan negara. Hal ini
 dapat   menyelamatkan   Islam  dari  pertentangan  yang  telah
 ditinggalkan Barat dalam pikiran dan dalam haluan sejarahnya.

 Islam  dapat  diselamatkan  dari  pertentangan  serta   segala
 pengaruhnya  itu,  sebabnya ialah karena Islam tidak kenal apa
 yang namanya gereja itu  atau  kekuasaan  agama  seperti  yang
 dikenal  oleh  agama  Kristen.  Belum  ada  orang  di kalangan
 Muslimin  -  sekalipun  ia  seorang  khalifah  -   yang   akan
 mengharuskan  sesuatu  perintah kepada orang, atas nama agama,
 dan akan mendakwakan dirinya mampu  memberi  pengampunan  dosa
 kepada  siapa saja yang melanggar perintah itu. Juga belum ada
 di kalangan Muslimin - sekalipun ia seorang  khalifah  -  yang
 akan  mengharuskan  sesuatu  kepada  orang  selain  yang sudah
 ditentukan Tuhan di dalam Qur'an.  Bahkan  semua  orarg  Islam
 sama  di  hadapan  Tuhan.  Yang seorang tidak lebih mulia dari
 yang  lain,  kecuali  tergantung  kepada  takwanya  -   kepada
 baktinya.  Seorang  penguasa  tidak  dapat  menuntut kesetiaan
 seorang Muslim apabila dia sendiri  melakukan  perbuatan  dosa
 dan  melanggar  penntah  Tuhan.  Atau  seperti  kata  Abu Bakr
 ash-Shiddiq kepada kaum Muslimin  dalam  pidato  pelantikannya
 sebagai  Khalifah  "Taatilah  saya  selama  saya  taat  kepada
 (perintah) Allah dan RasulNya. Tetapi apabila  saya  melanggar
 (perintah) Allah dan Rasul maka gugurkanlah kesetiaanmu kepada
 saya."
 
 Kendatipun  pemerintahan  dalam  Islam  sesudah  itu  kemudian
 dipegang  oleh  seorang  raja  tirani,  kendatipun di kalangan
 Muslimin pernah timbul perang  saudara,  namun  kaum  Muslimin
 tetap  berpegang kepada kebebasan pribadi yang besar itu, yang
 sudah ditentukan oleh agama, kebebasan yang sampai menempatkan
 akal  sebagai  patokan  dalam  segala  hal,  bahkan  dijadikan
 patokan didalam agama dan iman sekalipun. Kebebasan ini  tetap
 mereka   pegang   sekalipun   sampai   pada   waktu  datangnya
 penguasa-penguasa  orang-orang  Islam  yang  mendakwakan  diri
 sebagai  pengganti Tuhan di muka bumi ini - bukan lagi sebagai
 pengganti Rasulullah. Padahal segala persoalan Muslimin  sudah
 mereka kuasai belaka, sampai-sampai ke soal hidup dan matinya.
 
 Sebagai  bukti  misalnya  apa  yang  sudah  terjadi  pada masa
 Ma'mun, tatkala orang berselisih mengenai Qur'an: makhluk atau
 bukan  makhluk - yang diciptakan atau bukan diciptakan! Banyak
 sekali orang  yang  menentang  pendapat  Khalifah  waktu  itu,
 padahal  mereka  mengetahui akibat apa yang akan mereka terima
 jika berani menentangnya.

 Dalam segala hal  akal  pikiran  oleh  Islam  telah  dijadikan
 patokan.  Juga  dalam hal agama dan iman ia dijadikan patokan.
 Dalam firman Tuhan:
 
 "Perumpamaan orang-orang  yang  tidak  beriman  ialah  seperti
 (gembala)  yang  meneriakkan  (ternaknya) yang tidak mendengar
 selain suara panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu  dan
 buta,  sebab  mereka tidak menggunakan akal pikiran." (Qur'an,
 2: 171)
 
 Oleh Syaikh Muhammad  Abduh  ditafsirkan,  dengan  mengatakan:
 "Ayat  ini  jelas  sekali  menyebutkan, bahwa taklid (menerima
 begitu  saja)  tanpa  pertimbangan  akal  pikiran  atau  suatu
 pedoman  ialah  bawaan  orang-orang tidak beriman. Orang tidak
 bisa beriman kalau agamanya  tidak  disadari  dengan  akalnya,
 tidak  diketahuinya sendiri sampai dapat ia yakin. Kalau orang
 dibesarkan dengan biasa menerima begitu  saja  tanpa  disadari
 dengan  akal pikirannya, maka dalam melakukan suatu perbuatan,
 meskipun perbuatan yang baik, tanpa  diketahuinya  benar,  dia
 bukan  orang  beriman. Dengan beriman bukan dimaksudkan supaya
 orang  merendah-rendahkan  diri  melakukan  kebaikan   seperti
 binatang  yang  hina, tapi yang dimaksudkan supaya orang dapat
 meningkatkan daya akal  pikirannya,  dapat  meningkatkan  diri
 dengan  ilmu  pengetahuan, sehingga dalam berbuat kebaikan itu
 benar-benar ia sadar, bahwa kebaikannya  itu  memang  berguna,
 dapat  diterima  Tuhan.  Dalam meninggalkan kejahatan pun juga
 dia mengerti benar bahaya dan  berapa  jauhnya  kejahatan  itu
 akan membawa akibat."
 
 Inilah  yang dikatakan Syaikh Muhammad Abduh dalam menafsirkan
 ayat ini, yang di dalam Qur'an,  selain  ayat  tersebut  sudah
 banyak  pula  ayat-ayat  lain  yang  disebutkan  secara  jelas
 sekali. Qur'an menghendaki  manusia  supaya  merenungkan  alam
 semesta ini, supaya mengetahui berita-berita sekitar itu, yang
 kelak  renungan  demikian  itu  akan  mengantarkannya   kepada
 kesadaran  tentang  wujud  Tuhan,  tentang keesaanNya, seperti
 dalam firman Allah:
                                     (bersambung ke bagian 2/6)
 

0 komentar:

Post a Comment

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client