Selamat Datang Di Emye Private Blog
Membaca, mendengar, dan menterjemahkan Al Qur'an
Sedikit Bigraphy Singkat tentang Aku.
Title

Bapakku

Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...

Read More
Title

Ibuku

Ibuku.., Seorang Wanita yang Sangat Kuat, Tegar dan Banyak Akal. Bisa Menjadi Seorang Ibu Sekaligus "seorang ayah" Juga. Smart dalam bertahan hidup, Sabar di Keseharian, Walau Galak Tapi Pemaaf... Saluut Untukmu Mah...!

Read More
Title

Aku Yang...

Inilah Yang Dulu Selalu Mencari Masalah, dan Terkena Masalah dan Hampir Terkubur Karenanya.. Berharap Maaf dariNYA, Kedua Orangtuaku dan Juga Kalian Semua.. Do'akan RidhoNYA Untukku ya.. Terimakasih Untuk Kalian Semua...

Read More
Title

Rumahku Hidupku..No Place Like Home

Di Sinilah Awal Semua Kisahku.., Di Awali Dengan Kasih Sayang dan Pengharapan dan Di Jalani Dengan Kegilaan lalu Berakhir dengan Keterpurukan. No More Fly..No More Sky and No More Cry...

Read More
Title

Seberkas CahayaNYA...

Menunggu dan Berharap Banyak dariNYA... Jawaban dan Ampunan Setelah Doa-doa yang Kutambatkan.. Setiap Detik, Setiap Saat Sebelum Saat Akhir Hidupku Tiba...

Read More
Title

Pikirkan Dulu!

Pikirkan dan Pertimbangkan Semua Pilihan. Karena Kau Harus Memilih, Gunakan Kata Hatimu. Ambil Apa Yang Baik Dari Kisahku Kawan.. Semua Hikmah. Sekarang atau Tidak Sama Sekali..!!!?

Read More

Sejarah Hidup Rasulullah Muhammad SAW

October 18, 2011
BAGIAN KEDUABELAS: SATUAN-SATUAN1 DAN
 BENTROKAN-BENTROKAN PERTAMA                              (1/2)
 Muhammad Husain Haekal
 
    Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang
    pertama - Nabi berangkat sendiri - pendapat ahli-ahli
    sejarah tentang ekspedisi pertama - Pendapat kami
    tentang satuan-satuan (saraya) ini - Menyudutkan
    perdagangan Quraisy - Anshar dan perang agresi - Watak
    penduduk Medinah - Menakut-nakuti Yahudi - Islam dan
    perang - Intrik-intrik Yahudi - Orang-orang suci dalam
    Islam dan Kristen - Islam agama kodrat.
 
 SESUDAH hijrah  beberapa  bulan  keadaan  kaum  Muslimin  yang
 tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
 Muhajirin ke Mekah terasa  makin  bertambah  adanya.  Terpikir
 oleh  mereka  siapa-siapa  dan apa saja yang mereka tinggalkan
 itu, serta betapa pula pihak  Quraisy  menyiksa  mereka  dulu?
 Tetapi  sungguhpun  begitu,  gerangan  apa  yang  harus mereka
 lakukan?  Banyak  penulis-penulis  sejarah  yang  berpendapat,
 bahwa  mereka  - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
 mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta  mulai  membuka
 permusuhan   dan  akan  mengadakan  perang.  Bahkan  ada  yang
 berpendapat,  bahwa  sejak  mereka  sampai  di  Medinah   niat
 mengadakan  perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
 yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
 karena  mereka  masih  sibuk  menyiapkan tempat-tempat tinggal
 serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian  mereka
 mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
 Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja.  Dan
 sudah  wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
 Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah  membuat
 pihak  Quraisy  segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
 Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan  Aus  dan  Khazraj
 tentang dia.
 
 Mereka  memperkuat  pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
 delapan bulan sesudah Rasul  dan  para  Muhajirin  tinggal  di
 Medinah,  yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
 Abd'l-Muttalib ke tepi  laut  (Laut  Merah)  di  sekitar  'Ish
 dengan  membawa  30  orang  pasukan yang terdiri dari kalangan
 Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini  ia  bertemu
 dengan  Abu  Jahl  b.  Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
 dari  penduduk  Mekah;  dan  bahwa  Hamzah  sudah  siap   akan
 memerangi  Quraisy  tapi  lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
 bertindak sebagai pendamai kedua  belah  pihak.  Masing-masing
 kelompok  itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
 ketika Muhammad mengirimkan  'Ubaida  bin'l-Harith  dengan  60
 orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
 pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang  disebut  Wadi
 Rabigh.  Disini  mereka  bertemu  dengan kelompok Quraisy yang
 terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
 bubar   juga   tanpa   suatu  pertempuran;  kecuali  apa  yang
 diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu  telah
 melepaskan  anak  panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
 dilepaskan dalam  Islam."  Demikianlah  ketika  Said  bin  Abi
 Waqqash  dikirim  ke  daerah  Hijaz  dengan  membawa  8  orang
 Muhajirin menurut satu sumber atau  20  orang  menurut  sumber
 yang  lain.  Kemudian  mereka  kembali  karena  tidak  bertemu
 siapa-siapa.

 Alasan mereka ini  mereka  perkuat  lagi  dengan  menyebutkan,
 bahwa  Nabi  telah  berangkat  sendiri  sesudah duabelas bulan
 tinggal di Medinah, dengan menyerahkan  pimpinan  kota  kepada
 Sa'd  b.  'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
 bermaksud mencari Quraisy  dan  Banu  Dzamra;  tetapi  Quraisy
 tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
 Banu  Dzamra;  bahwa  sebulan  sesudah  itu  ia   pergi   lagi
 mengepalai  200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
 dengan sasaran sebuah kafilah yang  dipimpin  o]eh  Umayya  b.
 Khalaf  yang  terdiri  dari  2.500  ekor unta dikawal oleh 100
 orang pasukan perang. Tapi  juga  sudah  tidak  bertemu  lagi,
 sebab  mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
 yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
 kembali  dari  Buwat  di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
 Medinah  diserahkan  kepada  Abu  Salama  b.  Abd'l-Asad,   ia
 berangkat  lagi  memimpin  kaum Muslimin yang terdiri dari dua
 ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'.  Ia
 tinggal  disana  selama  bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
 dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623  M.)
 sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
 lewat.  Tetapi  ternyata  mereka  sudah   tidak   ada.   Dalam
 perjalanan   ini   ia  berhasil  dapat  mengadakan  perjanjian
 perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
 Dzamra;  dan  bahwa  begitu ia kembali dan akan tinggal selama
 sepuluh  hari  lagi  di  Medinah,  tiba-tiba  Kurz  b.   Jabir
 al-Fihri,  orang  yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
 dan Quraisy, datang ke  Medinah  merampok  sejumlah  unta  dan
 kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
 kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai  ia
 di  suatu  lembah  yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
 Kurz sudah menghilang.

 Inilah yang disebut  oleh  penulis-penulis  sejarah  Nabi  itu
 dengan sebutan Perang Badr Pertama.
 
 Bukankah  semua  peristiwa  ini  sudah  dapat dijadikan bukti,
 bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad  -  memang  sudah
 memikirkan  akan  membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
 mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
 menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
 dengan  mengirimkan  satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi
 pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
 
 Pertama,   mengadakan   pencegatan   terhadap  kafilah-kafilah
 Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
 sana  dalam  perjalanan  musim  panas,  dengan sedapat mungkin
 merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang  dagangan
 yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
 
 Kedua,  mengambil  jalur  kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
 Syam  itu  dengan   jalan   mengadakan   perjanjian-perjanjian
 perdamaian  serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
 jalan Medinah-Pantai Laut  Merah.  Hal  ini  akan  mempermudah
 pihak  Muhajirin  melakukan  serangan terhadap kafilah-kafilah
 Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat  melindungi
 mereka  dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
 kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan  yang  akan
 mencegah  kaum  Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
 -bertindak terhadap orang-orang dan  harta-benda  mereka  itu.
 Adanya   satuan-satuan   yang   oleh   Nabi  a.s.  pimpinannya
 diserahkan masing-masing kepada Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith
 dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
 yang telah diadakan  dengan  Banu  Dzamra,  Banu  Mudlij,  dan
 lain-lain,  memperkuat  maksud  tujuan kedua tadi, begitu juga
 pengambilan jalan penduduk  Mekah  ke  Syam  membuktikan  pula
 sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
 
 Bahwa  dengan  adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
 bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
 oleh  pihak  Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
 dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini  akan  membuat  orang
 jadi  sangsi  dan  harus  berpikir  lagi. Pasukan Hamzah tidak
 lebih dari 30 orang  dari  Muhajirin,  pasukan  'Ubaida  tidak
 lebih  dari  60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
 suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain  20  orang.
 Sedang  petugas-petugas  yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
 biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad  tinggal  di
 Medinah    dan    mulai    mengadakan    persekutuan    dengan
 kabilah-kabilah  setempat  dan   dengan   daerah-daerah   yang
 berdekatan,  pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
 perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd,  betapapun
 keberanian  mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
 namun persiapan yang  ada  pada  mereka  tidak  cukup  memberi
 semangat  untuk  melakukan  perang.  Bagi  mereka  ini  semua,
 kiranya  cukup  dengan  menakut-nakuti  Quraisy  saja,   tanpa
 mengadakan  perang;  kecuali  apa yang dilakukan orang tentang
 anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
 
 Disamping  itu  kafilah-kafilah  Quraisy  ini   dikawal   oleh
 penduduk  Mekah  yang  mempunyai  hubungan darah dan pertalian
 kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
 bagi  mereka  itu  mau  saling  bunuh, atau satu sama lain mau
 melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
 bersama-sama  ke  dalam  suatu  perang saudara, suatu hal yang
 selama tiga belas tahun terus-menerus,  dari  mulai  kerasulan
 Muhammad  sampai  pada  waktu  hijrahnya,  kaum  Muslimin  dan
 orang-orang  pagan  di  Mekah  sudah   mampu   menghindarinya.
 Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
 itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan  Khazraj
 sama-sama  berjanji  akan  melindungi  Muhammad.  Mereka tidak
 pernah memberikan janji kepadanya atau  kepada  siapapun  dari
 sahabat-sahabatnya   bahwa   mereka  akan  melakukan  tindakan
 permusuhan (agresi).

 Sungguhpun  sudah  begitu,  memang  tidak  mudah  orang   akan
 menyerah  begitu  saja  kepada  ahli-ahli  sejarah, yang dalam
 penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
 kemudian  sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
 dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya  memang
 sengaja  hendak  melakukan  perang. Oleh karena itu, dalam hal
 ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat  diterima
 akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
 mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula  dengan
 kebijaksanaan   Rasul  yang  pada  masa  itu  didasarkan  pada
 prinsip-prinsip  persetujuan  dan  saling  pengertian   dengan
 pelbagai  macam  kabilah;  di  satu pihak guna menjamin adanya
 kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna  menjamin
 adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.

 Menurut  hemat  saya  adanya  satuan-satuan yang mula-mula ini
 tidak lain maksudnya  supaya  pihak  Quraisy  mengerti,  bahwa
 kepentingan  mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
 pengertian dengan  pihak  Muslimin  yang  juga  dari  keluarga
 mereka,   yang   telah  terpaksa  keluar  dari  Mekah,  karena
 mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa  kedua
 belah  pihak  harus  menghindari adanya bencana permusuhan dan
 kebencian serta menjamin bagi  pihak  Islam  adanya  kebebasan
 menjalankan   dakwah   agama,  dan  bagi  pihak  Mekah  adanya
 keselamatan   dan   keamanan    perdagangan    mereka    dalam
 perjalanannya ke Syam.
 
 Sebenarnya  perdagangan  yang  dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
 dan yang didatangkan ke  Mekah  dari  bagian  Selatan,  adalah
 perdagangan   yang  cukup  besar.  Sebuah  kafilah  adakalanya
 berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan  seharga  lebih  dan
 50.000  dinar.  Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
 tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira  160.000
 pounsterling.  Apabila  bagi  pihak  Quraisy sudah pasti bahwa
 bahaya yang mengancam  perdagangan  ini  datangnya  dari  anak
 negeri  sendiri  yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
 telah membuatnya berpikir-pikir dalam  hal  mengadakan  saling
 pengertian  dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
 diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
 melakukan  dakwah  agama  serta  kebebasan  memasuki Mekah dan
 melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling  pengertian  demikian
 ini  takkan  ada  kalau  Quraisy  tidak  dapat memperhitungkan
 kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
 kini    akan    mencegat   dan   menutup   jalan   lalu-lintas
 perdagangannya.
 
 Inilah yang menurut penafsiran saya  yang  menyebabkan  Hamzah
 dan  rombongannya  dari  kalangan  Muhajirin  kembali, setelah
 berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
 keduanya  dilerai  oleh  Majdi  b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
 satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
 dengan  suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
 mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian.  Juga
 ini  pula  yang  mengartikan  betapa  besarnya  hasrat  Nabi -
 setelah  melihat  kecongkakan  Quraisy  dan   sikapnya   dalam
 menghadapi  kekuatan  Muhajirin  - ingin mengadakan perdamaian
 dengan  kabilah-kabilah  yang  tinggal   di   sepanjang   rute
 perdagangan  itu  serta  mengadakan  persekutuan dengan mereka
 yang beritanya tentu akan sampai juga kepada  Quraisy.  Dengan
 itu  kalau-kalau  mereka  mau  insaf  dan  kembali  memikirkan
 perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.

 Pendapat  ini  kuat  sekali  landasannya,  yakni  bahwa  dalam
 perjalanan  Nabi  a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
 kalangan  Anshar  dari  penduduk  Medinah  yang  menyertainya.
 Padahal  Anshar  itu  hanya  berikrar untuk mempertahankannya,
 bukan untuk melakukan  serangan  bersama-sama.  Hal  ini  akan
 jelas  terlihat  dalam  Perang  Besar  Badr,  tatkala Muhammad
 kemudian  kembali  tanpa  melakukan  pertempuran,  yang   juga
 disetujui  oleh  orang-orang  Medinah.  Apabila  pihak  Anshar
 memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran  terhadap  ikrar
 mereka  jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
 ini tidak berarti  bahwa  mereka  juga  harus  ikut  memerangi
 penduduk  Mekah.  Bagi  ke  duanya  alasan berperang yang akan
 dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka  satu
 sama  lain,  tidak  ada.  Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
 perdamaian yang diadakan Muhammad  guna  memperkuat  kedudukan
 Medinah  di  samping  melemahkan  tujuan  dagang  Quraisy  itu
 merupakan suatu  proteksi,  namun  hal  ini  samasekali  tidak
 berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
 lain kearah itu.
 
 Jadi   pendapat   yang    mengatakan    bahwa    keberangkatan
 satuan-satuan  Hamzah,  'Ubaida  bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
 Waqqash  hanya  untuk  memerangi  Quraisy,  dan   menamakannya
 sebagai  suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
 adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa',  Buwat  dan
 'Usyaira  tidak  lain  dan  suatu  penyerbuan,  adalah  sangat
 dibuat-buat,  yang   pada   dasarnya   sudah   tertolak   oleh
 keberatan-keberatan  yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
 riwayat hidup Muhammad  yang  telah  mengambil  alih  pendapat
 tersebut  tidak  lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
 hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir  abad  kedua  Hijrah,
 dan    bahwa    mereka    sangat   terpengaruh   oleh   adanya
 peperangan-peperangan yang  terjadi  kemudian  sesudah  Perang
 Besar  Badr.  Segala  bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
 itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka  anggap
 sebagai     peperangan,     yang     dikaitkan    pula    pada
 peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
 
 Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis  yang  memang  sudah
 mengetahui  adanya  sanggahan  demikian  ini,  meskipun  tidak
 mereka  sebutkan  dalam  buku-buku  mereka  itu.  Adapun  yang
 membuat  kita  menduga  mereka  sudah  mengetahui  hal  ini  -
 disamping usaha  mereka  menyesuaikan  diri  dengan  ahli-ahli
 sejarah  dari  kalangan  Islam  mengenai  tujuan Muhajirin dan
 terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
 mereka   tinggal  di  Medinah  -  ialah  karena  mereka  sudah
 menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini  tujuannya
 tidak  lain  ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
 bahwa  kebiasaan  merampok  sudah  menjadi  watak  orang-orang
 pedalaman  dan  bahwa  penduduk  Medinah  hanya  tertarik pada
 barang rampasan  dalam  mengikuti  Muhammad  dengan  melanggar
 janji mereka di 'Aqaba.

 Ini  adalah  pendapat  yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
 seperti juga penduduk Mekah - bukanlah  orang-orang  pedalaman
 yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
 dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian,  merekapun
 lebih   suka  tinggal  menetap  dan  samasekali  mereka  tidak
 tertarik  melakukan  perang  kecuali  jika  ada  alasan   yang
 luarbiasa
 
 Sebaliknya   kaum   Muhajirin,   mereka   berhak   membebaskan
 harta-benda mereka  dari  tangan  Quraisy.  Tetapi  sungguhpun
 begitu  mereka  bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
 peristiwa Badr. Juga  bukan  itu  pula  yang  telah  mendorong
 dikirimnya    satuan-satuan   dan   ekspedisi-ekspedisi   yang
 mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang  ini  memang  belum
 diundangkan     dalam     Islam,     sedang    Muhammad    dan
 sahabat-sahabatnya  bertindak  bukanlah  dengan   tujuan   ala
 pedalaman   (badui)   seperti  diduga  oleh  kaum  Orientalis,
 melainkan  apa  yang  sudah  berlaku  dan  dilaksanakan   oleh
 Muhammad  dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
 yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya  ada  kebebasan
 berdakwah   sebagaimana   mestinya.   Nanti   penjelasan   dan
 pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak  lebih
 jelas   di   depan   kita,   bahwa   tujuan   Muhammad  dengan
 perjanjian-perjanjian  itu  ialah  guna  memperkuat   Medinah,
 supaya  jangan  ada  jalan  bagi  pihak Quraisy dalam mengejar
 kehendaknya itu, atau  mencoba  melakukan  kekerasan  terhadap
 kaum  Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
 hendak mengembalikan orang-orang Islam  dari  Abisinia.  Dalam
 pada  itu  ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
 pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah  untuk  agama  Allah
 tetap  dijamin,  dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
 bagi Allah.

 Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi  bersenjata  ini
 barangkali  masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
 Barangkali maksudnya akan  menakut-nakuti  orang-orang  Yahudi
 yang   tinggal   di   Medinah   dan   sekitarnya.  Kita  sudah
 menyaksikan, bahwa ketika Muhammad  baru  sampai  di  Medinah,
 pihak   Yahudi  berhasrat  hendak  merangkulnya.  Akan  tetapi
 setelah   mereka   mengadakan   perjanjian   perdamaian    dan
 persetujuan  akan  kebebasan  mengadakan  dakwah  agama  serta
 melaksanakan  upacara  dan  kewajiban  agama,  begitu   mereka
 melihat  keadaan  Muhammad  yang  stabil  dan panji Islam yang
 megah dan menjulang tinggi,  mulai  mereka  membalik  memusuhi
 Nabi  dan  berusaha  hendak  menjerumuskannya.  Kalaupun dalam
 melakukan permusuhan ini mereka tidak  berterus-terang  karena
 dikuatirkan  kepentingan  perdagangan  mereka  akan jadi kacau
 bila sampai terjadi perang saudara  antara  penduduk  Medinah,
 atau  karena  masih  memelihara  perjanjian  perdamaian dengan
 mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara  guna
 menyebarkan   fitnah   di  kalangan  orang-orang  Islam  serta
 membangkitkan   kebencian   antara   Muhajirin   dan   Anshar,
 membangunkan  kembali  kedengkian  lama antara Aus dan Khazraj
 dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
 dalam persajakan.

 Kaum  Muslimin  sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
 serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai  mereka
 dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
 berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari  mesjid  secara
 paksa.  Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
 Dan akhirnya Nabi a.s. menolak  mereka  sesudah  diusahakannya
 meyakinkan  mereka  dengan  alasan dan bukti. Sudah tentu pula
 apabila   orang-orang   Yahudi   Medinah   dibiarkan   berbuat
 sekehendak  hati,  mereka  akan  terus  menjadi-jadi dan terus
 berusaha mengobarkan  fitnah.  Dari  segi  istilah  kecermatan
 diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
 terhadap kelicikan mereka itu saja,  tapi  harus  pula  supaya
 mereka  berasa  bahwa  Muslimin  juga punya kekuatan yang akan
 dapat   menumpas   setiap   fitnah    yang    ada,    membasmi
 jaringan-jaringan    fitnah    serta    mengikis   sampai   ke
 akar-akarnya. Cara  yang  paling  baik  untuk  membuat  mereka
 merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
 menghadapkannya  pada   benterokan-benterokan   senjata   pada
 beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
 hancur, yang oleh pihak Yahudi  memang  diinginkan,  dan  juga
 diinginkan oleh pihak Quraisy.
                                     (bersambung ke bagian 2/2)
 

0 komentar:

Post a Comment

Just select text on the page and get instant translation from Google Translate!
Google Translate Client