BAGIAN KEDUABELAS: SATUAN-SATUAN1 DAN
BENTROKAN-BENTROKAN PERTAMA (1/2)
Muhammad Husain Haekal
Politik Muslimin di Medinah dan satuan-satuan yang
pertama - Nabi berangkat sendiri - pendapat ahli-ahli
sejarah tentang ekspedisi pertama - Pendapat kami
tentang satuan-satuan (saraya) ini - Menyudutkan
perdagangan Quraisy - Anshar dan perang agresi - Watak
penduduk Medinah - Menakut-nakuti Yahudi - Islam dan
perang - Intrik-intrik Yahudi - Orang-orang suci dalam
Islam dan Kristen - Islam agama kodrat.
SESUDAH hijrah beberapa bulan keadaan kaum Muslimin yang
tinggal di Medinah sudah pula stabil. Sekarang kerinduan pihak
Muhajirin ke Mekah terasa makin bertambah adanya. Terpikir
oleh mereka siapa-siapa dan apa saja yang mereka tinggalkan
itu, serta betapa pula pihak Quraisy menyiksa mereka dulu?
Tetapi sungguhpun begitu, gerangan apa yang harus mereka
lakukan? Banyak penulis-penulis sejarah yang berpendapat,
bahwa mereka - dan terutama Muhammad - telah memikirkan akan
mengadakan balas-dendam terhadap Quraisy serta mulai membuka
permusuhan dan akan mengadakan perang. Bahkan ada yang
berpendapat, bahwa sejak mereka sampai di Medinah niat
mengadakan perang ini sudah terpikir oleh mereka. Hanya saja,
yang masih menunda mereka mencetuskan api peperangan itu ialah
karena mereka masih sibuk menyiapkan tempat-tempat tinggal
serta mengatur segala keperluan hidup mereka. Sebagian mereka
mengemukakan alasan ini ialah karena Muhammad sudah mengadakan
Ikrar Aqaba kedua yang justru untuk memerangi siapa saja. Dan
sudah wajar pula apabila ia dan sahabat-sahabatnya menjadikan
Quraisy sebagai sasaran pertama, suatu hal yang telah membuat
pihak Quraisy segera menyadari akibat perjanjian 'Aqaba itu.
Dalam ketakutan itu mereka pergi menanyakan Aus dan Khazraj
tentang dia.
Mereka memperkuat pendapat ini dengan apa yang telah terjadi
delapan bulan sesudah Rasul dan para Muhajirin tinggal di
Medinah, yaitu ketika Muhammad mengirimkan pamannya Hamzah b.
Abd'l-Muttalib ke tepi laut (Laut Merah) di sekitar 'Ish
dengan membawa 30 orang pasukan yang terdiri dari kalangan
Muhajirin tanpa orang-orang Anshar. Di tempat ini ia bertemu
dengan Abu Jahl b. Hisyam dengan 300 orang pasukan terdiri
dari penduduk Mekah; dan bahwa Hamzah sudah siap akan
memerangi Quraisy tapi lalu dilerai oleh Majdi b. 'Amr yang
bertindak sebagai pendamai kedua belah pihak. Masing-masing
kelompok itu lalu bubar tanpa terjadi suatu pertempuran. Juga
ketika Muhammad mengirimkan 'Ubaida bin'l-Harith dengan 60
orang pasukan terdiri dari kaum Muhajirin tanpa Anshar. Mereka
pergi menuju ke suatu tempat air di Hijaz, yang disebut Wadi
Rabigh. Disini mereka bertemu dengan kelompok Quraisy yang
terdiri dari 200 orang dipimpin oleh Abu Sufyan. Tetapi mereka
bubar juga tanpa suatu pertempuran; kecuali apa yang
diceritakan orang, bahwa Said b. Abi Waqqash ketika itu telah
melepaskan anak panahnya, "dan itu adalah anak panah pertama
dilepaskan dalam Islam." Demikianlah ketika Said bin Abi
Waqqash dikirim ke daerah Hijaz dengan membawa 8 orang
Muhajirin menurut satu sumber atau 20 orang menurut sumber
yang lain. Kemudian mereka kembali karena tidak bertemu
siapa-siapa.
Alasan mereka ini mereka perkuat lagi dengan menyebutkan,
bahwa Nabi telah berangkat sendiri sesudah duabelas bulan
tinggal di Medinah, dengan menyerahkan pimpinan kota kepada
Sa'd b. 'Ubada. Ia pergi ke Abwa',. Sesampainya di Waddan ia
bermaksud mencari Quraisy dan Banu Dzamra; tetapi Quraisy
tidak dijumpainya. Lalu ia mengadakan persekutuan dengan pihak
Banu Dzamra; bahwa sebulan sesudah itu ia pergi lagi
mengepalai 200 orang dari Muhajirin dan Anshar - menuju Buwat
dengan sasaran sebuah kafilah yang dipimpin o]eh Umayya b.
Khalaf yang terdiri dari 2.500 ekor unta dikawal oleh 100
orang pasukan perang. Tapi juga sudah tidak bertemu lagi,
sebab mereka sudah mengambil haluan lain, bukan jalan kafilah
yang sudah diratakan; dan bahwa dua atau tiga bulan sesudah ia
kembali dari Buwat di bilangan Radzwa setelah pimpinan Kota
Medinah diserahkan kepada Abu Salama b. Abd'l-Asad, ia
berangkat lagi memimpin kaum Muslimin yang terdiri dari dua
ratus orang lebih sampai di 'Usyaira di pedalaman Yanbu'. Ia
tinggal disana selama bulan Jumadil Awal dan beberapa malam
dalam bulan Jumadil Akhir tahun kedua Hijrah (Oktober 623 M.)
sambil menunggu kafilah Quraisy yang dikepalai oleh Abu Sufyan
lewat. Tetapi ternyata mereka sudah tidak ada. Dalam
perjalanan ini ia berhasil dapat mengadakan perjanjian
perdamaian dengan Banu Mudlij serta sekutu-sekutunya dari Banu
Dzamra; dan bahwa begitu ia kembali dan akan tinggal selama
sepuluh hari lagi di Medinah, tiba-tiba Kurz b. Jabir
al-Fihri, orang yang punya hubungan dengan orang-orang Mekah
dan Quraisy, datang ke Medinah merampok sejumlah unta dan
kambing. Nabi pergi mencarinya dan pimpinan Medinah diserahkan
kepada Zaid b. Haritha. Diikutinya orang itu hingga sampai ia
di suatu lembah yang disebut Safawan di daerah Badr. Tetapi
Kurz sudah menghilang.
Inilah yang disebut oleh penulis-penulis sejarah Nabi itu
dengan sebutan Perang Badr Pertama.
Bukankah semua peristiwa ini sudah dapat dijadikan bukti,
bahwa kaum Muhajirin - dan terutama Muhammad - memang sudah
memikirkan akan membalas dendam terhadap Quraisy dan memulai
mengadakan permusuhan dan melakukan perang? Setidak-tidaknya -
menurut pikiran ahli-ahli sejarah itu - ini membuktikan, bahwa
dengan mengirimkan satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi
pendahuluan itu tujuan mereka adalah dua:
Pertama, mengadakan pencegatan terhadap kafilah-kafilah
Quraisy dalam perjalanan mereka ke Syam atau sekembalinya dari
sana dalam perjalanan musim panas, dengan sedapat mungkin
merenggut harta yang dibawa pergi atau barang-barang dagangan
yang akan dibawa pulang oleh kafilah-kafilah itu.
Kedua, mengambil jalur kafilah Qusaisy dalam perjalannya ke
Syam itu dengan jalan mengadakan perjanjian-perjanjian
perdamaian serta persekutuan dengan kabilah-kabilah sepanjang
jalan Medinah-Pantai Laut Merah. Hal ini akan mempermudah
pihak Muhajirin melakukan serangan terhadap kafilah-kafilah
Quraisy itu, tanpa ada sesuatu apa yang akan dapat melindungi
mereka dari Muhammad dan sahabat-sahabatnya, sebagai tetangga
kabilah-kabilah tersebut, yaitu suatu perlindungan yang akan
mencegah kaum Muslimin - selaku pihak yang berkuasa dan kuat
-bertindak terhadap orang-orang dan harta-benda mereka itu.
Adanya satuan-satuan yang oleh Nabi a.s. pimpinannya
diserahkan masing-masing kepada Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith
dan Sa'd b. Abi Waqqash, demikian juga persekutuan-persekutuan
yang telah diadakan dengan Banu Dzamra, Banu Mudlij, dan
lain-lain, memperkuat maksud tujuan kedua tadi, begitu juga
pengambilan jalan penduduk Mekah ke Syam membuktikan pula
sebagian tujuan kaum Muslimin itu.
Bahwa dengan adanya satuan-satuan (sariya) yang dimulai enam
bulan sesudah mereka tinggal di Medinah dan yang hanya diikuti
oleh pihak Muhajirin saja tujuannya hendak memerangi Quraisy
dan menyerbu kafilah-kafilah mereka, ini akan membuat orang
jadi sangsi dan harus berpikir lagi. Pasukan Hamzah tidak
lebih dari 30 orang dari Muhajirin, pasukan 'Ubaida tidak
lebih dari 60 orang, demikian juga pasukan Sa'd yang menurut
suatu sumber 8 orang, dan menurut sumber yang lain 20 orang.
Sedang petugas-petugas yang mengawal kafilah-kafilah Quraisy
biasanya berlipat ganda jumlahnya. Sejak Muhammad tinggal di
Medinah dan mulai mengadakan persekutuan dengan
kabilah-kabilah setempat dan dengan daerah-daerah yang
berdekatan, pihak Quraisy makin memperbanyak jumlah orang dan
perlengkapannya. Baik Hamzah, 'Ubaida ataupun Sa'd, betapapun
keberanian mereka itu sebagai kepala satuan-satuan Muhajirin,
namun persiapan yang ada pada mereka tidak cukup memberi
semangat untuk melakukan perang. Bagi mereka ini semua,
kiranya cukup dengan menakut-nakuti Quraisy saja, tanpa
mengadakan perang; kecuali apa yang dilakukan orang tentang
anak panah, yang pernah dilepaskan Sa'd itu.
Disamping itu kafilah-kafilah Quraisy ini dikawal oleh
penduduk Mekah yang mempunyai hubungan darah dan pertalian
kerabat dengan sebagian besar kaum Muhajirin. Jadi tidak mudah
bagi mereka itu mau saling bunuh, atau satu sama lain mau
melakukan balas dendam, atau akan melibatkan Mekah dan Medinah
bersama-sama ke dalam suatu perang saudara, suatu hal yang
selama tiga belas tahun terus-menerus, dari mulai kerasulan
Muhammad sampai pada waktu hijrahnya, kaum Muslimin dan
orang-orang pagan di Mekah sudah mampu menghindarinya.
Orang-orang Islam itu sudah mengetahui bahwa Ikrar 'Aqaba dulu
itu adalah ikrar pertahanan (defensif), pihak Aus dan Khazraj
sama-sama berjanji akan melindungi Muhammad. Mereka tidak
pernah memberikan janji kepadanya atau kepada siapapun dari
sahabat-sahabatnya bahwa mereka akan melakukan tindakan
permusuhan (agresi).
Sungguhpun sudah begitu, memang tidak mudah orang akan
menyerah begitu saja kepada ahli-ahli sejarah, yang dalam
penulisan sejarah hidup Nabi yang baru dimulai hampir dua abad
kemudian sesudah wafatnya itu mengatakan, bahwa satuan-satuan
dan perjalanan-perualanan yang mula-mula itu tujuannya memang
sengaja hendak melakukan perang. Oleh karena itu, dalam hal
ini seharusnya ada suatu penafsiran yang lebih dekat diterima
akal dan sesuai pula dengan politik kaum Muslimin pada periode
mula-mula mereka berada di Medinah, serta sejalan pula dengan
kebijaksanaan Rasul yang pada masa itu didasarkan pada
prinsip-prinsip persetujuan dan saling pengertian dengan
pelbagai macam kabilah; di satu pihak guna menjamin adanya
kebebasan melakukan dakwah agama, di pihak lain guna menjamin
adanya kerja sama yang baik dan bertetangga baik.
Menurut hemat saya adanya satuan-satuan yang mula-mula ini
tidak lain maksudnya supaya pihak Quraisy mengerti, bahwa
kepentingan mereka sebenarnya bergantung kepada adanya saling
pengertian dengan pihak Muslimin yang juga dari keluarga
mereka, yang telah terpaksa keluar dari Mekah, karena
mengalami tekanan-tekanan. Pengertian ini berarti bahwa kedua
belah pihak harus menghindari adanya bencana permusuhan dan
kebencian serta menjamin bagi pihak Islam adanya kebebasan
menjalankan dakwah agama, dan bagi pihak Mekah adanya
keselamatan dan keamanan perdagangan mereka dalam
perjalanannya ke Syam.
Sebenarnya perdagangan yang dikirimkan dari Mekah dan Ta'if
dan yang didatangkan ke Mekah dari bagian Selatan, adalah
perdagangan yang cukup besar. Sebuah kafilah adakalanya
berangkat dengan 2.000 unta dengan muatan seharga lebih dan
50.000 dinar. Menurut perkiraan Sprenger ekspor Mekah setiap
tahunnya mencapai jumlah 250.000 dinar atau kira-kira 160.000
pounsterling. Apabila bagi pihak Quraisy sudah pasti bahwa
bahaya yang mengancam perdagangan ini datangnya dari anak
negeri sendiri yang kini sudah mengungsi ke Medinah, hal ini
telah membuatnya berpikir-pikir dalam hal mengadakan saling
pengertian dengan mereka, suatu saling pengertian yang memang
diharapkan oleh pihak Muslimin, yakni jaminan adanya kebebasan
melakukan dakwah agama serta kebebasan memasuki Mekah dan
melakukan tawaf di Ka'bah. Tetapi saling pengertian demikian
ini takkan ada kalau Quraisy tidak dapat memperhitungkan
kekuatan pihak Muhajirin dari anak negerinya sendiri itu, yang
kini akan mencegat dan menutup jalan lalu-lintas
perdagangannya.
Inilah yang menurut penafsiran saya yang menyebabkan Hamzah
dan rombongannya dari kalangan Muhajirin kembali, setelah
berhadapan dengan Abu Jahl b. Hisyam di pantai Jazirah, begitu
keduanya dilerai oleh Majdi b. 'Amr. Selanjutnya seringnya
satuan-satuan Muslimin itu menuju rute perdagangan pihak Mekah
dengan suatu jumlah yang sukar sekali dapat dibayangkan bahwa
mereka sedang menuju perang, dapat ditafsirkan demikian. Juga
ini pula yang mengartikan betapa besarnya hasrat Nabi -
setelah melihat kecongkakan Quraisy dan sikapnya dalam
menghadapi kekuatan Muhajirin - ingin mengadakan perdamaian
dengan kabilah-kabilah yang tinggal di sepanjang rute
perdagangan itu serta mengadakan persekutuan dengan mereka
yang beritanya tentu akan sampai juga kepada Quraisy. Dengan
itu kalau-kalau mereka mau insaf dan kembali memikirkan
perlunya ada saling pengertian dan persetujuan itu.
Pendapat ini kuat sekali landasannya, yakni bahwa dalam
perjalanan Nabi a.s. ke Buwat dan 'Usyaira itu tidak sedikit
kalangan Anshar dari penduduk Medinah yang menyertainya.
Padahal Anshar itu hanya berikrar untuk mempertahankannya,
bukan untuk melakukan serangan bersama-sama. Hal ini akan
jelas terlihat dalam Perang Besar Badr, tatkala Muhammad
kemudian kembali tanpa melakukan pertempuran, yang juga
disetujui oleh orang-orang Medinah. Apabila pihak Anshar
memang tidak melihat adanya suatu pelanggaran terhadap ikrar
mereka jika Muhammad mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
ini tidak berarti bahwa mereka juga harus ikut memerangi
penduduk Mekah. Bagi ke duanya alasan berperang yang akan
dibenarkan oleh etik Arab atau oleh tata hubungan mereka satu
sama lain, tidak ada. Meskipun dalam perjanjian-perjanjian
perdamaian yang diadakan Muhammad guna memperkuat kedudukan
Medinah di samping melemahkan tujuan dagang Quraisy itu
merupakan suatu proteksi, namun hal ini samasekali tidak
berarti sama dengan suatu pengumuman perang atau sesuatu usaha
lain kearah itu.
Jadi pendapat yang mengatakan bahwa keberangkatan
satuan-satuan Hamzah, 'Ubaida bin'l-Harith dan Sa'd bin Abi
Waqqash hanya untuk memerangi Quraisy, dan menamakannya
sebagai suatu penyerbuan, sukar sekali dapat dicernakan. Juga
adanya pendapat bahwa kepergian Muhammad ke Abwa', Buwat dan
'Usyaira tidak lain dan suatu penyerbuan, adalah sangat
dibuat-buat, yang pada dasarnya sudah tertolak oleh
keberatan-keberatan yang kami kemukakan tadi. Penulis-penulis
riwayat hidup Muhammad yang telah mengambil alih pendapat
tersebut tidak lain memperlihatkan bahwa mereka menulis peri
hidup Muhammad itu baru pada akhir-akhir abad kedua Hijrah,
dan bahwa mereka sangat terpengaruh oleh adanya
peperangan-peperangan yang terjadi kemudian sesudah Perang
Besar Badr. Segala bentrokan-bentrokan yang terjadi sebelum
itu, yang tujuannya bukan untuk berperang, lalu mereka anggap
sebagai peperangan, yang dikaitkan pula pada
peristiwa-peristiwa kaum Muslimin masa Nabi.
Rupanya tidak sedikit kalangan Orientalis yang memang sudah
mengetahui adanya sanggahan demikian ini, meskipun tidak
mereka sebutkan dalam buku-buku mereka itu. Adapun yang
membuat kita menduga mereka sudah mengetahui hal ini -
disamping usaha mereka menyesuaikan diri dengan ahli-ahli
sejarah dari kalangan Islam mengenai tujuan Muhajirin dan
terutama Muhammad dalam menghadapi pihak Mekah sejak mula-mula
mereka tinggal di Medinah - ialah karena mereka sudah
menyebutkan, bahwa satuan-satuan yang mula-mula ini tujuannya
tidak lain ialah merampok barang-barang dagangan kafilah dan
bahwa kebiasaan merampok sudah menjadi watak orang-orang
pedalaman dan bahwa penduduk Medinah hanya tertarik pada
barang rampasan dalam mengikuti Muhammad dengan melanggar
janji mereka di 'Aqaba.
Ini adalah pendapat yang terbalik, sebab penduduk Medinah -
seperti juga penduduk Mekah - bukanlah orang-orang pedalaman
yang hidupnya dari menjarah dan merampok. Disamping itu sesuai
dengan watak orang yang hidup dari hasil pertanian, merekapun
lebih suka tinggal menetap dan samasekali mereka tidak
tertarik melakukan perang kecuali jika ada alasan yang
luarbiasa
Sebaliknya kaum Muhajirin, mereka berhak membebaskan
harta-benda mereka dari tangan Quraisy. Tetapi sungguhpun
begitu mereka bukan pihak yang mendahului sebelum terjadinya
peristiwa Badr. Juga bukan itu pula yang telah mendorong
dikirimnya satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi yang
mula-mula itu. Selanjutnya, masalah perang ini memang belum
diundangkan dalam Islam, sedang Muhammad dan
sahabat-sahabatnya bertindak bukanlah dengan tujuan ala
pedalaman (badui) seperti diduga oleh kaum Orientalis,
melainkan apa yang sudah berlaku dan dilaksanakan oleh
Muhammad dan sahabat-sahabatnya ialah jangan sampai ada orang
yang mau diperdayakan dari agamanya dan supaya ada kebebasan
berdakwah sebagaimana mestinya. Nanti penjelasan dan
pembuktiannya akan kita lihat juga. Di situ akan tampak lebih
jelas di depan kita, bahwa tujuan Muhammad dengan
perjanjian-perjanjian itu ialah guna memperkuat Medinah,
supaya jangan ada jalan bagi pihak Quraisy dalam mengejar
kehendaknya itu, atau mencoba melakukan kekerasan terhadap
kaum Muslimin seperti yang pernah mereka usahakan dulu ketika
hendak mengembalikan orang-orang Islam dari Abisinia. Dalam
pada itu ia pun tidak keberatan mengadakan perjanjian dengan
pihak Quraisy asalkan kebebasan berdakwah untuk agama Allah
tetap dijamin, dan jangan ada lagi kebencian. Agama hanyalah
bagi Allah.
Dibalik satuan-satuan dan ekspedisi-ekspedisi bersenjata ini
barangkali masih ada tujuan lain yang dimaksud oleh Muhammad.
Barangkali maksudnya akan menakut-nakuti orang-orang Yahudi
yang tinggal di Medinah dan sekitarnya. Kita sudah
menyaksikan, bahwa ketika Muhammad baru sampai di Medinah,
pihak Yahudi berhasrat hendak merangkulnya. Akan tetapi
setelah mereka mengadakan perjanjian perdamaian dan
persetujuan akan kebebasan mengadakan dakwah agama serta
melaksanakan upacara dan kewajiban agama, begitu mereka
melihat keadaan Muhammad yang stabil dan panji Islam yang
megah dan menjulang tinggi, mulai mereka membalik memusuhi
Nabi dan berusaha hendak menjerumuskannya. Kalaupun dalam
melakukan permusuhan ini mereka tidak berterus-terang karena
dikuatirkan kepentingan perdagangan mereka akan jadi kacau
bila sampai terjadi perang saudara antara penduduk Medinah,
atau karena masih memelihara perjanjian perdamaian dengan
mereka itu, maka mereka telah menempuh segala macam cara guna
menyebarkan fitnah di kalangan orang-orang Islam serta
membangkitkan kebencian antara Muhajirin dan Anshar,
membangunkan kembali kedengkian lama antara Aus dan Khazraj
dengan menyebut-nyebut sejarah Bu'ath dan cerita yang terdapat
dalam persajakan.
Kaum Muslimin sudah mengetahui benar adanya komplotan mereka
serta caranya yang berlebih-lebihan itu, sampai-sampai mereka
dimasukkan kedalam kelompok kaum munafik, malah dianggap lebih
berbahaya lagi. Mereka pernah dikeluarkan dari mesjid secara
paksa. Orang tidak mau duduk-duduk atau bicara dengan mereka.
Dan akhirnya Nabi a.s. menolak mereka sesudah diusahakannya
meyakinkan mereka dengan alasan dan bukti. Sudah tentu pula
apabila orang-orang Yahudi Medinah dibiarkan berbuat
sekehendak hati, mereka akan terus menjadi-jadi dan terus
berusaha mengobarkan fitnah. Dari segi istilah kecermatan
diplomasi tidak cukup hanya peringatan dan meminta kewaspadaan
terhadap kelicikan mereka itu saja, tapi harus pula supaya
mereka berasa bahwa Muslimin juga punya kekuatan yang akan
dapat menumpas setiap fitnah yang ada, membasmi
jaringan-jaringan fitnah serta mengikis sampai ke
akar-akarnya. Cara yang paling baik untuk membuat mereka
merasakan hal ini ialah dengan mengirimkan satuan-satuan serta
menghadapkannya pada benterokan-benterokan senjata pada
beberapa tempat, tapi jangan sampai kekuatan Muslimin itu jadi
hancur, yang oleh pihak Yahudi memang diinginkan, dan juga
diinginkan oleh pihak Quraisy.
(bersambung ke bagian 2/2)
Bapakku
Bapakku yang Sangat Tegas Akan Sesuatu yang Dia Anggap Fundamental, Berprinsip Kuat. Sangat Religius. Jawa Banyumasan. Gualakeee Poll, hehehe...
Read More







0 komentar:
Post a Comment